Identitas budaya dan hak masyarakat taradisional
dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban
(Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I
Ayat 3)
Indonesia merupakan negara yang didasari oleh nilai kemajemukan atau
pluralistik dimana setiap daerah mempunyai adat istiadat dan kebiasaan yang
dianut. sehingga kebiasaan atau adat-istiadat
ini merupakan sebuah aturan yang harus dihargai dalam lingkungan
masyarakat tertentu. kesadaran akan norma atau hukum oleh suatu masyarakat ini
telah tertanam pada nilai-nilai kultural yang dianut sejak nenek moyang mereka
Masyarakat Islam hatuhaha sejak awal terdiri dari
lima negeri adat yakni Hulaliu, Pelauw, Kailolo, Kabau dan Ruhumoni yang terikat
pada satu persekutuan adat yang disebut HATUHAHA AMARIMA LOUNUSA atau biasa
disebut juga Uli hatuhaha.
Uli adalah suatu
persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa hena atau aman, uli
adalah lembaga masyarakat yang khusus terdapat di daerah Ambon Lease. Walaupun
didaerah sekitarnya terdapat lembaga yang sama dengan uli ini, tetapi tidak
serupa, misalnya pata di pulau Seram. Mengenai arti dari uli itu sendiri
terdapat perbedaan pendapat diantara para penulis. F. Valentijn mengartikan
dengan “Persekutuan” (gespanschap)
.Menurut Mr. F.D. Holleman uli itu adalah suatu “Perikatan atau gabungan
suku-suku” (stammenbond) yang terdiri
atas lima atau sembilan aman, hena atau soa. Didalam uraian selanjutnya
Holleman menyebutkan bahwa uli adalah “Volk”( Forum Kominikasi Intelektual
Muda Hatuhaha Waelapia, Selayang Pandang Pelanggaran Terhadap hak
Asasi Manusia di Negeri Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku tengah,
di sampaikan sebagai bahan infestigasi awal bagi KOMNAS HAM serta beberapa
instansi terkait demi terwujudnya rasa kadilan dan kepastian hokum berdasarkan
ketuhanan yang maha esa)
Dalam
keterkaitan wujud adat, kepemimpinan masyarakat berada ditangan Raja Negeri
Pelauw Yang sekaligus berkedudukan sebagai Latunusa (Raja Hatuhaha) dan kepemimpinan
agama (Spritual) berada ditangan Imam Hatuhaha yang berkedudukan di Ruhmoni (Pokok-Pokok
Pikiran Pemuda Matasiri (Pelauw),Mandalise (Ruhmoni) dan Samasuru
(Kabau-Kotala’e) yang berdomesili di jakarta dan sekitarnya, mengenai perubahan
Hisab Jumaatiah (Bilangan Hatuhaha) yang dilakukan oleh Hi, Abdul Basir
Latuconsina, disampaikan kepada Latunusa dan Makuku hatuhaha).
Dalam tulisan ini penulis akan membagi dalam
beberapa bagian yakni pertama tama penulis akan menguraikan tentang Masyarakat
pelauw terlebih dahulu. Kemudian dalam tulisan yang lain baru penulis akan
menguraikan ke empat Negeri yang lain dengan masing-masing bagiannya
BAGIAN I
NEGERI PELAUW
Alam pikiran
masyarakat indonesia timur bersifat kosmis, begitu pula yang terjadi dengan
alam pikiran masyarakat Negeri Pelauw, tidak ada pembatasan dunia lahir dan
gaib, tidak ada pemisahan antara manusia dan makhluk-makhluk lain. Pandangan
ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat tradisional yang tercermin
dalam hukum dan kebudayaan mereka. Yang paling utama dalam masyarakat ialah
adanya perimabangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia
seluruhnya dan orang perorang. Aturan aturan adat telah berkembang dalam
kepercayaan penduduk asli dan diwariskan secara turun temurun
Masyarakat
Pelauw lebih banyak melihatnya sebagai aturan-aturan yang diberikan oleh
penguasa langit ( upu lahatala lanito) atau batasan batasan yang telah
ditetapkan oleh para leluhur yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan, segala
bentuk tindakan ataupun perbuatan yang kemudian mengakibatkan hilangnya
keseimbangan yang terdapat dalam masyarakat tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum
wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna mengembalikan kembali
keseimbangan hukum.
Bagi masyarakat
persekutuan hukum Negeri Pelauw pokok dari segala penyelenggaran hukum adalah
masyarakat persekutuan dan penting tidaknya perorangan tergantung dari
fungsinya didalam persekutuan.
Dalam
persekutuan adat di negeri pelauw
terdapat beberapa jabatan yang memegang kedudukan penting antara lain
sebagai berikut :
1.
Raja (Upu
Latunusa Barakate/ Upu Nusaiya)
Raja sebagai
kepala persekutuan memegang kedudukan terpenting dalam pemerintahan Negeri. Di
Pelauw raja dulunya diangkat turun temurun melalui garis lurus kebapakan
(Patrinial) namun sekarang diangkat secara Demokratis dari Mata Rumah Parenta
(Latupono, Latuconsina dan Latuamury) kemudian dilantik oleh Perwakilan Tuan
Guru yang bergelar Lebe Lessy (dari Mata Ruma Tuasikal) sebagai perwakilan dari
Imam Hatuhaha yang merupakan pemimpin spritual di Hatuhaha
Dikatakan kedudukannya penting karena Raja mengurus
segala urusan yang berhubungan dengan keduniawian dalam pemerintahan Adat
2.
Tuan Guru (Upu
Sisyi)
Tuan Guru adalah
Pemangku Adat dati mata rumah Guru yang bertugas mencerdaskan masyarakat dan
bertanggung jawab terhadap segala urusan yang berkaitan dengan dunia Gaib dan
Akhirat, bertujuan untuk mencerdaskan Masyarakat pelauw dari segi Spritualitas.
Tidak semua mata rumah/marga di Negeri pelau merupakan Rumah Guru dan pemangku
adatnya bergelar Sisyi. Adapun pembagian mata rumah/marga dinegeri pelauw yang
mendapat gelar Tuan Guru adalah Rumah Nai Sampale yang merupakan Mata ruma marga Salampessy dan
Rumah Nai Pelauw yang merupakan marga Tuasikal sedangkan Rumah Nai Pakewan yang
merupakan marga Tuankota pemangku adatnya juga merupakan Tuan Guru tetapi hanya
untuk anak dan cucu dari marga Tuankota hingga tidak bergelar Sisyi.
pengangkatan
Tuan Guru ini diambil dari orang yang paling dituakan menurut silsilah di mata
ruma tersebut dan pergantiannya setelah yang sebelumnya meninggal dunia/wafat.
3.
Pemimpin
Perang ( Upu Kapitang )
Sebagaimana
dalam kehidupan sebuah negara kebutuhan akan Militer sangatlah dibutuhkan
begitu pula halnya dengan Kapitang tugasnya menjaga kestabilan negeri dari
ancaman yang timbul baik itu dari dalam maupun dari luar negeri, mengawal
kebijaksanaan yang telah diputuskan oleh persekutuan melalui sidang Mosonipi
(Kongres Negeri) agar proses keseimbangan bisa terus dirasakan ioleh setiap
masyarakat
Pengangkatan
didasarkan pada keturunan yang terdapat dalam mata rumah kapitang ( Tualepe,
Tualeka, Sahubawa, Tuny) tiap pemangku adat Memiliki Gelar dari marga diatas
adalah Upu Kapitang, namun kepala kapitang duduk pada marga Tualepe hal ini
terlihat jelas ketika upacara adat cakalele Kapitang dari sahubawa dan talaohu
mengutus anak buahnya untuk meminjam Upu kapitang dari Tualepe untuk menjadi
pemimpin pasukan laturima dalam upacara adat tersebut, sementara itu dari marga
Tualeka dan Tuni akan menggabungkan Lahato (Rahim secara simbolik) pertanda
Pemimpin pasukan kepada Kapitang dari tualepe Untuk kemudian bersama sama dengan pasukan Waelaurui, namun
terlepas dari itu semua para Upu kapitang ini mereka memegang peranan yang
sangat penting dalam bidanmgnya masing masing
Dalam kehidupan
masyarakat adat segala sesuatu yang hendak dikerjakan membutuhkan penentuan kutika (waktu) yang tepat. Kutika yaitu suatu istilah yang dapat di artikan sebagai waktu,
merupakan sebuah pengetahuan yang berkaitan dengan penentuan waktu yang tepat,
dalam kehidupan tradisional di pelauw, orang orang ketika hendak mengerjakan
sesuatu mulai dari mendirikan Rumah, berkebun, menikahkan anak, khitanan,
khaul, do’a selamatan, maupun upacara-upacara adat yang lain semisal Cakalele
serta ritual keagamaan yang lainnya semuanya memerlukan penentuan waktu yang
tepat atau kesempatan yang baik. Perhitungan Kutika
ini terikat pada siklus bulan dan bukan matahari. Setiap orang bisa saja
menghitung kutika dengan benar namun ketika hendak menjalankan hajat biasanya
mereka ke Tuan Guru untuk memutuskannya
Namun untuk
mewujudkan penyelenggaran pemerintah negeri dan lembaga adat yang adalah unit
terndah langsung di bawah Camat, serta untuk mengurus kepentingan masyarakat
yang berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang berada di daerah kabupaten
maka di negeri pelauw mempunyai struktur organisasi pemerintah negeri memiliki
struktur dan fungsi dari masing jabatan yang terlihat pada bagan berikut ini:
Struktur
Organisasi Pemerintahan Negeri Pelauw
- Mosonopi
Mosonopi adalah forum
pengambilan keputusan tertinggi masyarakat adat Negeri Pelauw. peserta mosonipi
terdiri atas Kepala-kepala Soa, Saniri
Nagri dan dipimpin langsung oleh raja
- Kepala Soa/Marga
Kepala
Soa/Marga adalah Orang
yang paling di tuakan dalam suatu soa/marga tertentu
- Saniri Negeri
Saniri Negeri atau biasa
disebut saniri lengkap adalah lembaga
legislatif yang keanggotaannya terdiri dari pejabat-pejabat yang duduk dalam saniri Rajapatti dan wakil
dari soa-soa tapi bukan kepala soa, kepala-kepala adat
- Raja
Kedudukan, tugas dan fungsi Raja: antara lain:
a)
Raja
berkedudukan sebagai alat pemerintah Negeri dan pelaksanaan pemerintah Negeri.
b)
Sesuai
dengan kedudukan dimaksud Raja mempunyai tugas pokok untuk menyelenggarakan
urusan rumah tangganya sendiri, menjalankan urusan pemerintah. Pembangunan dan
pembinaan masyarakat dan menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong
royong.masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintah dan pembangunan di
negeri.
c)
Untuk
menyelenggarakan tugas tersebut, Raja mempunyai fungsi untuk melaksanakan
kegiatan dalam rangka penyelenggaran urusan rumah tangganya, menggerakan
partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya, melaksanakan tugas dari
pemerintah daerah, melaksanakan penyelenggaraan ketentraman masyarakat,
melaksanakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan lainnya.
- Sekretaris Negeri
Kedudukan, tugas dan fungsi Sekretaris negeri antara lain:
a)
Sekretaris negeri
berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Raja
b)
Sekretaris
mempunyai tugas menjalankan administrasi pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan di negeri serta memberi pelayanan administrasi kepada Raja dan
masyarakat
c)
Sekretaris
negeri mempunyai fungsi:
Ø Melaksanakan
unsur surat-menyurat, kearsipan dan laporan.
Ø Melaksanakan
urusan keuangan.
Ø Melaksanakan
urusan administrasi pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan.
Ø Melaksanakan
tugas dan fungsi Raja apabila Raja berhalangan melaksanakan tugas-tugasnya.
- Kepala Urusan
Kedudukan, tugas dan fungsi kepala-kepala urusan, antara lain:
a)
Kedudukan kepala
urusan adalah unsur pembantu sekretaris negeri dalam bidang tugasnya.
b)
Kepala Urusan
brertugas menjalankan kegiatan sekretaris negeri dalam bidang tugasnya.
c)
Fungsi
Kepala urusan adalah:
Ø Melakasanakan
kegiatan-kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan keuangan dan umum sesuai
bidang tugas masing-masing.
Ø Memberikan
pelayanan administrasi terhadap Raja.
A.
Beberapa Perilaku Adat Dalam Lingkungan Masyarakat Hukum
Adat Negeri Pelauw
Interaksi antara satu individu dengan individu yang lainnya dalam
lingkungan masyarakat yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan tertentu,
kebutuhan interpersinal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang
lain, yang apabila tidak terlaksana akan menghasilkan gangguan atau keadaan
yang tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan, dan setiap kebutuhan-kebutuhan
interpersonal tersebut akan melahirkan perilaku-perilaku tertentu.
Hukum adat tidak mengenal sistem
pelanggaran hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dan tidak ada pemisah yang
jelas antara lapangan hukum publik dan hukum privat. Seluruh lapangan kehidupan
masyarakat menjadi batu ujian perihal apa yang dilarang dan apa yang tidak.
Dalam Petuah Hatuhaha dikatakan bahwa ; Sainyie
innyie, alemmie ummie, laha ole kura taha (Barang milik orang tetap milik
orang, barang milik kamu tetap milikmu, katakan yang benar itu benar dan yang
salah itu salah) yang berarti bahwa jangan sekali kali mengambil barang dan
atau hak milik orang lain selain milikmu sendiri dan jangan melakukan kesaksian
yang palsu katakanlah yang benar itu benar jangan sekali kali engkau salahkan,
dan yang salah tetap salah jangan sekali kali engkau benarkan sekalipun pahit
adanya.
Masyarakat hukum adat Negeri Pelauw memiliki berbagai perilaku adat yang
hingga saat ini masih tumbuh dan berkembang didalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pelauw, perilaku perilaku tersebut
akan coba penulis uraikan sebagai berikut :
1)
Hiti Hura Amala
Menjadi sebuah
kebiasaan masyarakat adat negeri pelauw bahwa ketika memasuki Hura Amala (bulan
Amalan menurut ajaran islam) para ibu biasanya membersihkan seluruh perabotan
rumah tangga yang berada di rumah soa (rumah tua) sedangkan kaum laki-lakinya
di anjurkan untuk mandi bersih dan ketika pada saat satu hari bulan menurut
perhitungan adat masyarakat di anjurkan untuk semuanya harus berada di dalam
negeri
2)
Ma’a Hajia (Khitanan/sunatan)
Dalam Agama Islam Ma,a hajia/Khitanan merupakan sebuah sunah yang harus
dijalankan kepada anak laki-laki, namun di Pelauw dalam prakteknya agak berbeda
dengan umat islam kebanyakan, biasanya ketika seorang anak laki-laki yang sudah
di tentukan untuk hitanan/sunatan itu beberapa jam sebelum prosesi di jalankan
di wajibkan untuk membawa do’a selamat (Uang koin dengan tujuan unmtuk
dimintakan keselamatannya selama Ma’hajia itu berlangsung), kepada seluruh
orang tua-tua yang merupakan keluarga dekatnya baik dari pihak ibunya ataupun
dari pihak nenek dari bapaknya, biasanya acara ini dilaksanakan di rumah soa
setiap marga masing masing.
Masyarakat adat Pelauw berkeyakinan bahwa segala perbuatan yang dilakukan
oleh seorang anak laki-laki sebelum di di sunat merupakan tanggung jawab kedua
orang tuanya setelah itu baru merupakan tanggung jawab si anak tersebut,
olehnya itu syatrat untuk seorang anak lelaki untuk di sunat adalah ketika dia
sudah berakal balik ( mampu membedakan apa yang baik dan apa yang buruk), dia
(anak laki-laki yang disunat) akan di karantina di rumah tua sampai batas waktu
yang ditentukan dan diperlakukan sangat
istimewa
Ketika malam dimana keesokan harinya merupakan hari terakhir dari proses
karangtina ini berlangsung apa yang dionamakan Mapualo ( Membawakan
sirih pinang ke Rumah Tua dari pihak ibu atau nenek yang biasanya mereka
sedang) keesokan harinya
para anak yang di sunat ini akan dimandikan di ujung Negeri Pelauw bahagian
barat tepatnya di pantai Pepela kemudia di rias dengan pakaian kebesaran dari
tiap-tiap marga setelah itu diarak keliling kampung dengan Hadrat oleh para
pemuda dan orang-orang tua laki-laki keliling Negeri Pelauw sampai finis pada
Ruamh Tua masing masing.
3)
Perkawianan,
Sudah merupakan sunah toullah (hukum alam). bahwa Allah SWT Tuhan YME
menciptakan segala sesuatu dimuka bumi ini berpasang pasangan, ada malam ada siang,
bumi dan langit, ada air laut dan air tawar, dan lain-lainnya begitu pula dengan manusia ada laki-laki dan
ada perempuan, tidak lain dengan tujuan untuk saling melengkapi.
Dalam tradisi perkawinan dalam masyarakat Adat Pelauw ketika dua insan yang berlainan jenis bersepakat
untuk meningkatkan hubungan kejenjang yang lebih tinggi yakni perkawinan maka
biasanya keluarga dari pihak lelaki mengajukan pinangan yang dalam bahasa Pelau
dinamakan Ma’a Nusu Mahu.
Apabila pinangan tersebut telah diterima maka keluarga lelaki melalui
kepala adat yang bertempat di rumah Soa menetapkan hari perkawinan kepada pihak
perempuan setelah berkonsultasi ke tuan Gurunya Menyangkut dengan Kutika/saat
yang tepat untuk melangsungkan perkawinan.
Setelah itu prosesi perkawinan mulai di laksanakan, biasanya terdiri dari
tiga hari namun sekarang karna pertimbangan anggaran maka di rampingkan menjadi
dua hari namun kesemuanya itu tidak mengurangi esensi perkawinan itu sendiri.
Malam pertamanya dinamakan Tihala. Pada malam ini pengantin perempuan akan di
antar ke rumah soa keluarga laki-laki (Rumah soa keluarga laki-laki
merupakan tempat dimana akan dilangsungkannya upacara perkawinanj). Disini seluruh pemuka adat telah di undang untuk
membacakan do,a selamat dam memberitahukan kepada para leluhur bahwa akan di
adaklannya perkawinan antara si A dengan Si B misalnya.setelah itu melalui
orang orang tertentu yang memang sudah di undang dan ditugaskan untuk pukul
Tifa/rabana
(Alat
Musik Pukul cirihas orang Maluku) sementara yang
lainnya melantungkan pantun-pantun tentang perkawinan, ini bermaksud sebagai
wahana sosialisasi kepada seluruh masyarakat bahwa ketika mereka mendengarkan
suara tipa tersebut maka mereka akan mengetahui informasi tentang siapa yang
sedang melangsungkan perkawinan. Setelah itu pengantin wanitanya di pulangkan
kerumahnya
Besok siangnya akan di lanjutkan dengan yang namanya Ma’a Koku Adat. Ini
merupakan proses yang tidak kalah penting, dengan maksud memberikan apa-apa
saja yang sudah ditetapkan sebagai syarat sebelum dilangsungkan perkawinan baik
itu mahar maupun syarat-syarat lain yang merupakan ketentyuan adat. Malamnya
baru dilanjutkan dengan ijab kabul sebagai syarat mutlak sahnya sebuah
perkawinan, adapun para pihak yang terlibat dalam acara perkawinan ini sama dengan
tradisi dalam Umat Islam.
4)
Fitnah/pencemaran nama baik,
Fitnah itu lebih kejam dari membunuh seperti itulak pepatah bijak yang
sering kita dengar dalam kehidupan sehari hari. Namaun dalam kehidupan
tradisional yang alam pemikiran kosmis telalu mendominasi terkadang mereka
sulit menerima sesuatu dengan penuh tangan terbuka, bahwa segala sesuatu yang
terjadi di muka bumi ini sudah ada yang mengaturnya.
Banyak sekali kita temui di pelauw ketika seseorang sakit atau bahkan
meninggal para keluarganya sering melimpahkan sebab-sebab sakit atau meninggal
kepada orang lain dan perilaku seperti ini tentunya akan menimbulkan kemarahan
yang luar biasa dari orang yang dituduh/di fitnah, tidak jarang buntut dari
persoalan ini adalah perkelahian. Untuk menyelesaikan perkara seperti ini
biasanya ada yang menempuh jalur ke pemerintah Negeri Pelauw namun ada juga
yang memilih mengadakan Upacara Potong Kurban (kaulo siautu) yang sebelumnya sudah niatkan untuk menentukan apakah
fitnah itu benar adanya atau tidak, konsekwensi dari sumpah dengan menggunakan
hewan korban ini adalah bisa sampai menghilangnya nyawa seluruh keturunan
5)
Hua salei amu salei / berzinah dengan istri orang,
Salah satu perilaku yang juga termasuk pelanggaran besar adalah Merusak Pagar ayu/berzinah dengan istri orang
yang dalam bahasa pelauw kenal dengan istilah Huwa salei amu salei. Bagi para
pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran ini akan di botakin dan kemudian di
arak keliling kampung setelah itu mereka
akan dikucilkan oleh masyarakat.
6)
Ziarah keramat (Makam Orang Tua-tua),
Sudah merupakan kewajiban bagi anak yang soleh untuk selalu mendo’akan
orang tuanya serta para leluhurnya yang mana telah menitiskan darah mereka
sehingga ia (anak) bila terlahir di bumi ini.
Pelauw merupakan salah satu negeri adat yang sampai saat ini selalu
melakukan ziarah rutin ke Keramat. Ritual adat ini biasanya di laksanakan dua
kali dalam setahun yakni menjelang bulan Rabiul Awal dan menjelang bulan
Rmadhan. Karena letaknya yang jauh dari negeri maka masyarakat di wajibkan
membawa Ta’alasi. Di sana (Keramat) masyarakat melakukan pembersihan lingkungan
keramat dan sekitarnya, setelah itu ta’a lasi tersebut di kumpulkan menjadi
satu oleh petugas yang di tunjuk lalu di adakan Ma’a Tarima Gaji[1] dalam bentuk makan patita
Sementara itu para pemuka adat memanjatkan do’a untuk keselamatan seluruh
warga masyarakat adat di dalam bangungan keramat.
7)
Ma’a Kuhu Meito ( Menyelan di laut )
Menurut Upu[2]
Sisyi Samaroho Salampessy[3] ( 89 Tahun) bahwa Ma’a Kuhu Meito (Menyelam Dilaut) adalah suatu
model penyelesaian sengketa adat yang menggunakan laut sebagai media untuk
proses pembuktian hukum berhak atau tidaknya para pihak yang bersengketa terhadap objek yang menjadi alasan dari
sengketa tersebut.
Pernyataan ini kemudian ditegaskan oleh Upu Khatib Taher Angkotasan (70
Tahun)salah satu staf masjid Adat Negeri Pelauuw yang juga pernah menjabat
sebagai sekretaris Desa Palauw . dari hasil wawancara dengan kedua tokoh diatas
pada saat yang berbeda mereka mengatakan bahwa Tujuan diadakannya Ma’a kuhu meito ini adalah
sesungguhnya untuk mencari keadilan, hal mana kemudian ketika suatu perkara
yang terjadi namun oleh pemerintah Negeri Adat yang bertindak sebagai hakim
adat tidak berani memutuskan perkaranya karena bukti yang di ajukan oleh kedua
belah pihak yang berperkara ternyata tidak bisa menjamin dan memberikan titik
tengan dari problem tersebut.
Sementara itu menurut pengakuan Upu Tukang[4]
Hajirati Tuahena ( 87 Tahun ) sekarang sebagai kepala soa marga Tuahena yang
kemudian dalam keterangannya menjelaskan bahwa ; mencari kebenaran manusia itu
sangatlah sulit oleh karena itu ketika terjadi kasus – kasus yang menyangkut
dengan tapal batas dusun apalagi yang berkaitan dengan suatu tanaman yang berada
persis ditengah-tengah batas antara yang dua orang dan atau lebih yang oleh
mereka sama-sama mengklaim bahwa tanaman tersebut kepunyaan mereka, ketika
persoalan seperti ini muncul dan tidak bisa terselesaikan dengan baik oleh
mereka dan karena potensi manusia itu kabanyakan melakukan perilaku yang
menyimpang sehingga melahirkan ketidak seimbangan dalam masyarakat, oleh karena
itu sesuai dengan aturan adat yang berlaku di Negeri Pelauw maka Aparat
Pemerintahan Adat Negeri Pelauwlah yang memiliki kewenangan sebagai hakim untuk
memutuskan perkara tersebut. Dari data penelitian yang penulis himpun
dilapangan setelah mewawancarai para tohoh adat mereka mengatakan bahwa Adat
Ma’a Kuhu Meito ini sudah mulai
diberlakukan sejak negeri Pelauw Mulai ada
Proses penyelesaian perkara dengan menggunakan adat “Ma’a Kuhu Meito” ini
menurut penuturan Upu Khatibe Taher Anggotasan adalah mula mula sebuah perkara
diajukan ke aparat pemerintahan adat Negeri Pelauw kemudian oleh raja diutuslah
beberapa orang dari stap pemerintahan Negeri untuk melakukan Komisi[5]
untuk melihat lebih dekat dan mencari bukti bukti yang kongkrit sehingga
bisa melahirkan titik terang terkait dengan status hukum objek sengketa
tersebut, namun apabila petrugas yang diutus untuk komisi tersebut tidak dapat memutuskan
sengketa tersebut dikarenakan objek sengketa berada ditengah-tengan batas
masing-masing pihak yang mengklaim dan untuk menjaga keseimbangan masyarakat
serta aspek keadilan terhadap persoalan tersebut maka petugas yang melakukan
komisi tersebut kemudian merekomendasikan agar diselesaikan dengan Adat Ma’a
kuhu meito dengan sebuah keyakinan bahwa keadilan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki oleh Allah SWT, Tuhan YME dan laut hanyalah dijadikan sarana untuk
mencari keadilan Tuhan.
Masyarakat Pelauw percaya bahwa Allah SWT, Tuhan YME menciptakan seluruh
alam beserta isinya dan kemudian mempercayakan para malaikat maupun nabi untuk
menjaganya, olehnya itu inti munajat do’a dari penghulu masjid yang bertindak
sebagai hakim Adat dalam Adat Ma’a kuhu meito adalah kepada Allah SWT namun
melalui Akhlul Ghaib Nabi yang mereka percaya menjaga lautan untuk kemudian
diteruskan kepada Allah SWT Tuhan YME.
Ketika perkara sudah diajukan ke pihak penghulu masjid untuk kemudian di
selesaikan dengan menggunakan Ma’a kuhu meito maka biasanya upu imam masjid
mengumpulkan seluruh staf penghulu masjid untuk mensosialisasikan informasi
terkait dengan perkara/sengketa yang diajukan. Dalam pertemuan tersebut mereka
(penghulu masjid) kemudian memutuskan kutika atau waktu yang pas.
Adat Ma’a kuhu meito ini biasanya dilaksanakan pada hari Jumat pagi, ketika
itu (jum’at pagi) para penghulu mesjid mereka berkumpul di salah satu rumah
yang berada di pinggir laut kemudian duduk untuk memanjatkan do’a kepada Allah
SWT Tuhan YME agar sekiranya dapat memberikan suatu pertanda kepada para pihak
yang bersengketa
Apabila kasus yang di ajukan berkaitan dengan tanaman maka para pihak yang
bersengketa di wajibkan untuk memotong salah satu akar tanaman tersebut yang
disaksikan oleh aparat pemerintahan negeri, keikut sertaan aparat pemerintahan
negeri ini bertujuan agar tidak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh para
pihak, akar tersebut kemudian kemudian dibagikan kepada mereka. Setelah itu
para pihak dihadapkan kehadapan para penghulu masjid yang sudah terlebih berada
disalah satu rumah yang berada di pinggil laut, tempat dimana segala persiapan
terkait dengan Sidang adat Ma’a kuhu Meito sebelum para sengketa menuju ke
laut.
Menurut Imam Masjid Pelauw Upu Ibrahim Latuconsina (70 Tahun} pakaian yang digunakan oleh
orang orang yang dipercayakan sebagai wakil untuk menjalani sidang adat ma’a
kuhu meito ini adalah pakaian adat (seperti pakaian cakalele namun tidak
menggunakan ikat pinggang) berwarna putih.
Para penghulu masjid kemudian membacakan do,a salamat dari masing-masing
pihak dengan tujuan agar siapapun yang berhak haruslah mendapatkan kembali
haknya. Ale seia kiha ume kura rimairua
nalai rihu esana ia tananenoto berarti ireny mustahaku[6]
(barang siapa yang menggali tanah dengan kedua tangannya sehingga
bercucuran keringat berarti dialah yang berhak). Setelah itu para pihak
kemudian dibekali dengan sebuah batu yang beratnya kira kira 10 Kg, batu ini
bertujuan agar ketika menyelam tidak ngambang kepermukaan. Oleh karena itu
sekalipun terdapat kubungan kekerabatan antara salah satu pihak dan atau
keduanya dengan para penghulu masjid yang ketika itu bertindak sebagai hakim
adat tidaklah menjamin bahwa orang tersebut akan memenangkan perkaranya
Setelah selesai do’a di bacakan para pihak kemudian di arahkan ke laut yang
dalamnya sebatas leher oleh Modim (dalam bahasa Arab artinya billal/sar’a),
para pihak ini akan mendengarkan aba aba yang dikumandangkan oleh Modim. Modim
tersebut berdiri di atas jembatan kemudian melafatkan salawat nabi sebanyak 3 X
(tiga kali) sebagai aba-aba/tanda komando dimulainya Ma’a Kuhu Meito. Jarak
satu sama lain antara para pencari keadilan ini adalah 5 – 7 Meter.
Setelah mendengarkan salawat nabi tersebut para pencari keadilan ini
kemudian menyelam menuju batu yang diberikan kepada mereka yang sebelumnya
sudah mereka letakkan persis dibawahnya sambil meletakan uang do’a salamat yang
tadi sudah dido’akan oleh para penghulu masjid tepat dibawah batu sambil
memeluk batu tersebut.
Menurut pengakuan beberapa orang yang penulis temui yang pada saat
terjadinya perkara mereka bertindak mewakili para pihak kemudian kalah dalam
proses pembuktian hukum tersebut bahwa pada saat menyelam itu ada tiga
gelombang yang datang sebagai ujian kepada mereka.
Dari pernyataan para tokoh adat penulis kemudian menyimpulkan bahwa
gelombang yang pertama bertujuan untuk mengunguji tingkat keseriusan dari
pencari keadilan tersebut, sedangkan gelombang kedua bertujuan untuk memberikan
pertanda kepada para pencari keadilan, yang tidak berhak biasanya merasa
kehabisan nafas dan merasakan dorongan yang kuat untuk segera muncul
kepermukaan sementara yang beerhak akan merasa nyaman dan bisa bernafas sebagaimana
sebelum menyelam bahkan sampai mereka tertidur didalam laut karena menganggap
batu yang dibawa tadi sebagai bantal yang empuk. Kebenyakan dari mereka yang
tidak berhak akan memilih muncul kepermukaan pada gelombang yang kedua ini
Sedangkan gelombang yang ketiga bertujuan untuk memberi sangsi kepada pihak
yang tidak berhak mereka biasanya merasakan kepalanya tertekan kebawah dan
kemudian melihat ikan besar yang datang mengikuti gelombang dengan mulut yang
terbuka seolah –olah hendak memangsanya sehingga mau-tidak mau mereka harus
muncul kepermukaan kalau ternyata masih membandel bisa berakibat hilangnya
nyawa.
Sementara itu orang yang berhak akan merasa nyaman dan tertidur sampai saat
ketika orang datang untuk membangunkannya dan menyampaikan kepada dia bahwa
yang bersangkutan telah memenangkan perkara.
Contoh Kasus yang pernah diselesaikan melalui Adat Ma’a
Kuhu Meito
Dibawah ini akan penulis uraikan beberapa contoh kasus yang penulis temui
saat wawancara dengan para tokoh adat terkait dengan kasus-kasus yang telah
diselesaikan dengan mengginakan Adat Ma’a kuhu meito ini
1.
Pada zaman hindia
belanda tahun 1940
Terjadi persengketaan antara marga Tuahena dengan Marga Tualeka terkait
dengan kepemilikan dusun sagu di Puti Ressy yang biasa disebut lapia parigi
(sagu sumur). Akli waris dari marga Tuakia mengklaim bahwa dusun sagu tersebut
merupakan kepunyaan mereka sementara
akhli waris Tuahena jugapun merasa demikian sebagaimana dengan apa yang di
sampaikan oleh para pendahulu mereka di rumah soa, konflik kecil-kecilan pun
sering terjadi di lokasi dusun lapia parigi. Sebagaimana kita ketahui bahwa
sagu merupakan makanan pokok orang maluku, olehnya itui tentunya keberadaan
sagu sebagai sumber kehidupan sangatlah memiliki peranan penting demi
kelangsungan hidup manusia. Untuk mencegah konflik yang lebih meluas persoalan
tersebut dibawa ke pemerintah negeri untuk diselesaikan secara adat kemudian
oleh pemerintah negeri di ajukan lagi kepihak penghulu masjid untuk di putuskan
menggunakan Adat Ma’a kuhu meito.
Tn. Saripmahu Tuahena bertindak
sebagai perwakilan dari marga tuahena dan Tn. Abu Bakar Tuasikal bertindak
sebagai perwakilan dari marga Tualeka adapun hubungan Tn. Abubakar Tuasikal
dengan Tualeka karena ibunya anak cucu keturunan Marga Tualeka. Kasus ini kemudian dimenangkan oleh Tn Sarip
Mahu Tuahena. Sejak saat itu tidak ada lagi konflik antara Tuahena dan Tualeka
karena dusun lapia parigi[7]
2.
Pada tahun 1954
Terjadi kasus menyangkut Pohon Cengkih di dusun Robo huhui antara Tn Horit
Tuakia dan Tn. Nurdin Angkotasan yang mewakili Tn. Haji Tamat yang kemudian dimenangkan oleh Tuan Horit,
padahal masa itu Tn. Nurdin merupakan seorang yang di anggap mampu dalam hal
menyelam dilaut karena ketika pada masa penjajahan Jepang beliau (tn.
Nurdin-red) sering di gunakan oleh Jepang untuk menyelam[8]
3.
Pada Tahun 1985
Objek sengketa menyangkut Pohon Sagu di dusun lawata antara Tn. Roho Alim Latuconsina dengan Tn.
Ibrahim Talaohu yang dimenangkan oleh Tn. Roho Alim Latuconsina[9]
4.
Pada tahun 1987
Terjadi kasus lagi namun kali ini berkaitan dengan pohon Duriang di dusun
sarut. Antara Tn. Muralebe Salampessy yang kemudian dalam proses pembuktian
hukumnya diwakili oleh anaknya Abunuru Salampessy dengan pihak dari Latipu
Latupono yang diwakili oleh Talip Salampessy yang dimenangkan oleh Tn. Abunuru
Salampessy.[10]
Setelah kasus-kasus diatas, sampai saat ini belum ada kasus yang muncul dan
sampai ketingkat penyelesaian dengan metode Hukum Adat Ma’a Kuhu Meito ini.
Mengingat sistem penyelesaian
sengketa adat dengan menggunakan Ma’a kuhu meito ini memiliki peranan yang
sangat penting dalam menjaga stabilitas serta keseimbangan dalam masyarakat
maka hal ini dapat dijadikan sebagai Alternatif Penyelesaian sengketa diluar
pengadilan
B.
Sanksi Adat Ma’a Kuhu Meito Dan Pengaruhnya Dalam
Masyarakat Negeri Pelauw
Adapun sangsi yang timbul akibat tindakan penyerobotan terhadap sesuatu
yang bukan haknya menurut hukum adat ma’a kuhu meito ini adalah bahwa apabila
ternyata tindakan tersebut telah menimbulkan kerugian meteril maka yang kalah
di haruskan untuk mengganti segala bentuk kerugian yang diderita oleh yang
berhak
Sedangkan secara fsikis orang tersebut akan merasa terasing karena di jauhi
dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat negeri Pelauw. Oleh karena itu
melihat sangsi seperti ini maka pada kasus – kasus belakangan yang timbul
berkisar dari tahun 1988 hingga sekarang tidak pernah sampai ke proses
pembuktian Ma’a kuhu meito karena para pihak yang kemudian merasa tidak
memiliki hak tidak datang menghadap ketika dipanggil oleh penghulu masjid
dengan demikian pihak yang datang dinyatakan berhak atas objek sengketa.
Dari penilitian yang penulis lakukan sejauh ini tidak pernah ada komplen
yang timbul dari pihak yang dinyatakan kalah dalam sidang adat ma’a kuhu
meito,hal ini membuktikan bahwa hukum
adat “Ma’a Kuhu Meito” ini memenuhi rasa keadilan dari para pencari keadilan.
Kepatuhan terhadap keputusan adat oleh setiap masyarakat di negeri Pelauw
sudah terdoktrinasi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya, hal ini sesuai dengan petuah orang tua-tua yakni “Ai
pasalaoti epasuri-suri,Kisai yakakoti auwrolonea, Kosaiyakakoti auwrolono, Suwe
guruasi janji” yang mengandung arti bahwa seluruh aturan adat yang telah
diwariskan itu haruslah dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan ajaran
guru-guru hatuhaha.
Sangsi Adat Ma’a Kuhu meito ini berlaku kepada seluruh masyarakat adat
Pelauw, ketika penarapannya dalam masyarakat semua orang memiliki kedudukan
yang sama tidak ada pengecualian bagi seluruh masyarakat Adat negeri Pelauw
Menurut Imam Masjid Upu Ibrahim Latuconsina bahwa Salah satu hal yang paling besar dan paling
berpengaruh terhadap kepatuhan hukum atas keptusan sidang adat Ma’a Kuhu Meito
ini adalah keterikatan batin masyarakat Pelauw dengan Adat mereka itu sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar