KAMIS 15 JUNI 2006,
suasana riuh sejak pagi hingga hari menjelang malam membahana di
seantero Negeri (desa) Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku
Tengah. Ribuan pria, mulai dari anak-anak hingga dewasa keluar rumah
membawa parang (pedang) maupun senjata tajam lainnya seperto pisau,
golok, maupun silet. Mengenakan pakaian perang putih-putih dan berikat
kepala putih, mereka seakan bersiap melakukan sebuah peperangan besar.
Dengan
parang terhunus dan tanpa rasa takut sedikit pun, mereka
memotong-motong anggota tubuhnya sendiri seperti menggorok leher,
menyayat lidah, telinga, ataupun memotong dan menikam perut serta dada.
Selain melakukannya sendiri, mereka juga ditebas dengan parang oleh
warga lainnya secara silih berganti.
Peristiwa
ini adalah suasana ritual adat ma’atenu atau cakalele, sebuah upacara
adat berupa tarian perang yang menggambarkan kisah perjuangan penuh
keperkasaan melawan kezaliman. Para lelaki yang ikut ritual ma’atenu
digambarkan sebagai sosok para pejuang yang sedang bersiap untuk
berperang.
Pelauw,
tempat dilaksanakan ritual adat ma’atenu adalah negeri adat yang
terletak pada kawasan pelataran adat Jazirah Hatuhaha di Pulau Haruku,
disebut juga Negeri Matasiri. Dalam struktur tata pemerintahan Kabupaten
Maluku Tengah, negeri berpenduduk 11.320 jiwa (data sensus 2002) ini
merupakan ibukota kecamatan di pulau seluas 150 km² tersebut.
Menjelang
ritual Ma’atenu dilaksanakan, cuaca mendung disertai hujan lebat terus
mengguyur Pelauw sejak tiga minggu terakhir. Kondisi alam tidak
menghalangi masyarakat untuk merayakan ritual adat yang dilakukan setiap
tiga tahun sekali ini.
Sehari
sebelum ma’atenu berlangsung, mulai dari pagi hari, ruas jalan-jalan di
Pelauw disesaki warga. Beberapa diantaranya bahkan sudah melakukan
cakalele dengan menggunakan sejumlah senjata tajam seperti parang, pisau
karter, pisau daging, celurit, silet, hingga pecahan botol kaca.
Salah
satu atraksi yang mambuat bulu kuduk berdiri ketika Muzakir Latupono,
seorang pemuda Pelauw merebahkan Hamdani Latuamury, bocah berusia empat
tahun di tengah jalan beraspal. Tanpa segan dan takut melukai bocah
tersebut, Muzakir menyayat dan memotong-motong tubuh bocah kecil itu
yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Si bocah hanya diam seakan
menikmati atraksi pamannya. Puluhan warga lain yang melihat aksi ini
terlihat gemetaran dan histeris.
Setelah
terus dipretelin dengan berbagai senjata tajam, bocah kecil itu lalu
berdiri dan dengan sendiri mengiris-iris perutnya dengan dua buah pisau
kater tajam yang diberikan pamannya. Sementara leher si bocah terus
menjadi sasaran Muzakir memainkan parang, silet, dan celurit tajam,
secara bergantian. Anehnya, tidak ada sedikitpun luka pada tubuh si
bocah. Beberapa meter dari tempat itu, sejumlah pemuda dengan parang
juga memainkan atraksi yang sama. Peristiwa ini terus berlangsung hingga
hari memasuki malam.
Sebulan
sebelum ma’atenu berlangsung, pemuka adat dan agama di Pelauw sudah
menyiapkan upacara adat tersebut dengan memanjatkan doa di mesjid kepada
sang khalik dan para upu (leluhur). Selama masa itu, kaum pria Pelauw
sudah bersiap-siap mengasah parang dan menyiapkan pakaian perangnya.
Setiap pria yang memasuki negeri Pelauw diwajibkan memakai tutup kepala.
Kaum
pria yang mengikuti ritual ini jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri
dengan membersihkan jiwa dari segala kesalahan dan dosa yang dilakukan
terutama kepada keluarga. “Kami saling minta maaf satu sama lain dalam
keluarga,” kata Isyan Tuaskial (33), salah satu warga Pelauw.
Pemuda
Pelauw Rusman Angkotasan (30) mengatakan, semua pria yang telah akil
baliq dan merupakan anak cucu Pelauw bisa mengikuti ritual ma’atenu
tanpa syarat yang berat. Cukup bermodal keberanian, keyakinan akan
kekuatan yang sudah ada dalam darahnya, serta mendapat restu orang tua,
tubuhnya pasti kebal saat mengikuti ma’atenu.
Ma’atenu
di Pelauw adalah warisan budaya masa lampau yang mengedepankan
nilai-nilai Islam. Bagi sebagian warga Pelauw, mereka meyakini bahwa
tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun itu adalah wujud dari jiwa
keberanian Syaidina Ali, sahabat dan anak mantu Rasulullah yang terkenal
pemberani di medan perang.
“Ma’atenu
menunjukkan masyarakat Pelauw mewariskan nilai-nilai Syaidina Ali yang
terkenal berani dalam medan perang dengan pedangnya,” ujar Rusman.
Saat
ritual ma’atenu dilakukan, pukul 06.30 Wit, kaum pria dari rumahnya
pergi menuju rumah soa (marga) atau rumah pusaka. Dalam perjalanan,
umumnya mereka berada dalam kondisi trans (ka’a atau dikenal dengan
sebutan kapitan) sambil memperlihatkan kekebalan dan ketahanan tubuh
menghadapi senjata tajam lewat atraksi cakalele.
Ka’a
adalah kondisi raga yang kebal dari berbagai jenis senjata tajam.
Syarat melakukan ritual ini, senjata tajam yang digunakan haruslah
setajam mungkin, karena jika tidak justru membuat badan menjadi sakit.
Uniknya, tubuh mereka yang dipotong tidak meninggalkan luka. Kalaupun
ada hanya berupa garisan bekas sayatan benda tajam.
Dari
rumah soa, para pria yang sudah digunduli kepalanya itu berziarah ke
makam para leluhur yang oleh warga setempat disebut Keramat. Prosesi
pelaksanaannya terbagi dalam tiga kelompok besar yang menghimpun 13 soa
di negeri Pelauw. Tiga kelompok ini pergi menuju tiga jurusan yang
terdapat Keramat yakni makam para upu yang diyakini sebagai Wali Allah,
yakni orang-orang suci yang menyiarkan agama Islam.
Jurusan
pertama dikenal dengan Keramat Matasiri atau Latu Rima terdiri atas soa
Sahubawa, Talaohu, Latuconsina, Latupono, dan Latuamury. Jurusan kedua
yakni Keramat Waelurui terdiri atas soa Salampessy, Tuakia, Tualepe,
Angkotasan, dan Tuankotta. Sedangkan jurusan ketiga Keramat Hunimoki
atau Waelapia terdiri dari soa Tualeka, Tuahena, dan Tuasikal.
Dalam
pelaksanaan ritual adat penuh magis ini, bukan saja kaum pria dari
Pelauw, sejumlah pemuda dari negeri tetangga khususnya negeri-negeri
adat Hatuhaha seperti Rohomoni dan Kabauw juga ikut ambil bagian.
Hadirnya para pemuda dari negeri tetangga ini karena berdasarkan
sejarah, moyang-moyang di Hatuhaha bersaudara dan mendirikan kampung
secara terpisah yakni Pelauw, Kailolo, Kabauw, dan Rohomoni. Satu negeri
lainnya yakni Ulaliuw juga adalah saudara empat negeri ini namun
beralih agama dari Islam ke Kristen saat masa penjajahan Belanda.
Sesampainya
di Keramat, tetua adat memberi sesembahan berupa pinang, daun sirih,
dan kapur. Setelah sesembahan diletakan ditempatnya, tetua adat membakar
damar dan berdoa kepada leluhur. Terdengar sesekali para kapitan
meneriakan shalawat nabi. Sebelum kembali lagi ke kampung, para pemuda
memakan perbekalan yang dibawa dan dimandikan oleh para kapitan di
sungai. Dalam perjalanan pulang, seluruh peserta ma’atenu
mempertontonkan kebolehannya membacok anggota tubuhnya di sepanjang
perjalanan.
Untuk
sampai ke Keramat, peserta ma’atenu harus menempuh perjalanan dengan
jalan kaki untuk pergi dan pulangnya. Keramat terjauh adalah Keramat
Waelurui berjarak sekitar sembilan kilometer dan terdekat adalah Keramat
Waelapia sekitar lima kilometer.
Setelah
semua prosesi adat dijalankan di Keramat, sekitar pukul 15.00 Wit,
kelompok Matasiri yang mengambil rute dari arah barat muncul di halaman
mesjid dengan tabuhan genderang perang membuat suasana menjadi panas.
Selang 30 menit kemudian, kelompok Waelurui dari arah timur muncul
dengan genderang perang yang tidak kalah ramai. Hiruk-pikuk ini membuat
warga Pelauw yang menonton baik pria maupun wanita ikut histeris.
Kelompok
Waelapia muncul terakhir dari arah timur membuat suasana bertambah
panas dan merinding. Peragaan cakalele ini akhirnya berakhir di
pelataran mesjid. Untuk menghilangkan pengaruh kapitan yang masih
melekat atau membekas, ibu-ibu dari masing-masing soa menyarungkan kain
ma’alahe ke leher masing-masing pria yang ikut ma’atenu.
Sekretaris
Negeri Pelauw Awaludin Angkotasan (66), mengatakan, tidak selamanya
peserta ma’atenu kebal terhadap senjata tajam. Ada pantangan atau
larangan tertentu yang tidak boleh dilanggar. Awaludin bahkan punya
pengalaman sendiri ketika terluka saat mengikuti ma’atenu.
Saat
itu dia berusia 13 tahun. Bersama sembilan rekannya, sesampai di
Keramat mereka ditugaskan menjaga bekal makanan pasukan ma’atenu. Karena
lapar, dia bersama kesembilan rekannya itu memakan bekal pasukan tanpa
seijin kapitan. Saat kapitan datang dan mendapati mereka sudah makan
lalu mengatakan “Kalian jangan cakalele saat pulang dari Keramat sampai
ke kampung,” katanya menirukan larangan kapitan saat itu.
Karena
tidak patuh, dia dan kesembilan rekannya terluka. “Para pejuang
ma’atenu bisa terluka jika ada kesalahan, misalnya tidak ada ijin dari
orang tua atau ada petunjuk tapi dilanggar. Setiap pelaksanaan ma’atenu
pasti ada yang luka tapi jumlahnya sangat sedikit, itupun tidak sampai
meninggal,” kata Awaludin sambil memperlihatkan bekas luka di perutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar