Welcome in Rasyid Blog

Membaca Adalah cara dimana dunia ada pada genggaman anda..
Jadi Teruslah membaca..
Semoga dapat bermanfaat bagi anda..

A-CHIED ANGKOTASAN

Minggu, 27 Januari 2013

Ma’atenu, Perang Kapitan di Negeri Matasiri



 

KAMIS 15 JUNI 2006, suasana riuh sejak pagi hingga hari menjelang malam membahana di seantero Negeri (desa) Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Ribuan pria, mulai dari anak-anak hingga dewasa keluar rumah membawa parang (pedang) maupun senjata tajam lainnya seperto pisau, golok, maupun silet. Mengenakan pakaian perang putih-putih dan berikat kepala putih, mereka seakan bersiap melakukan sebuah peperangan besar.

Dengan parang terhunus dan tanpa rasa takut sedikit pun, mereka memotong-motong anggota tubuhnya sendiri seperti menggorok leher, menyayat lidah, telinga, ataupun memotong dan menikam perut serta dada. Selain melakukannya sendiri, mereka juga ditebas dengan parang oleh warga lainnya secara silih berganti.

Peristiwa ini adalah suasana ritual adat ma’atenu atau cakalele, sebuah upacara adat berupa tarian perang yang menggambarkan kisah perjuangan penuh keperkasaan melawan kezaliman. Para lelaki yang ikut ritual ma’atenu digambarkan sebagai sosok para pejuang yang sedang bersiap untuk berperang.

Pelauw, tempat dilaksanakan ritual adat ma’atenu adalah negeri adat yang terletak pada kawasan pelataran adat Jazirah Hatuhaha di Pulau Haruku, disebut juga Negeri Matasiri. Dalam struktur tata pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah, negeri berpenduduk 11.320 jiwa (data sensus 2002) ini merupakan ibukota kecamatan di pulau seluas 150 km² tersebut.

Menjelang ritual Ma’atenu dilaksanakan, cuaca mendung disertai hujan lebat terus mengguyur Pelauw sejak tiga minggu terakhir. Kondisi alam tidak menghalangi masyarakat untuk merayakan ritual adat yang dilakukan setiap tiga tahun sekali ini.

Sehari sebelum ma’atenu berlangsung, mulai dari pagi hari, ruas jalan-jalan di Pelauw disesaki warga. Beberapa diantaranya bahkan sudah melakukan cakalele dengan menggunakan sejumlah senjata tajam seperti parang, pisau karter, pisau daging, celurit, silet, hingga pecahan botol kaca.

Salah satu atraksi yang mambuat bulu kuduk berdiri ketika Muzakir Latupono, seorang pemuda Pelauw merebahkan Hamdani Latuamury, bocah berusia empat tahun di tengah jalan beraspal. Tanpa segan dan takut melukai bocah tersebut, Muzakir menyayat dan memotong-motong tubuh bocah kecil itu yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Si bocah hanya diam seakan menikmati atraksi pamannya. Puluhan warga lain yang melihat aksi ini terlihat gemetaran dan histeris.

Setelah terus dipretelin dengan berbagai senjata tajam, bocah kecil itu lalu berdiri dan dengan sendiri mengiris-iris perutnya dengan dua buah pisau kater tajam yang diberikan pamannya. Sementara leher si bocah terus menjadi sasaran Muzakir memainkan parang, silet, dan celurit tajam, secara bergantian. Anehnya, tidak ada sedikitpun luka pada tubuh si bocah. Beberapa meter dari tempat itu, sejumlah pemuda dengan parang juga memainkan atraksi yang sama. Peristiwa ini terus berlangsung hingga hari memasuki malam.

Sebulan sebelum ma’atenu berlangsung, pemuka adat dan agama di Pelauw sudah menyiapkan upacara adat tersebut dengan memanjatkan doa di mesjid kepada sang khalik dan para upu (leluhur). Selama masa itu, kaum pria Pelauw sudah bersiap-siap mengasah parang dan menyiapkan pakaian perangnya. Setiap pria yang memasuki negeri Pelauw diwajibkan memakai tutup kepala.

Kaum pria yang mengikuti ritual ini jauh-jauh hari telah mempersiapkan diri dengan membersihkan jiwa dari segala kesalahan dan dosa yang dilakukan terutama kepada keluarga. “Kami saling minta maaf satu sama lain dalam keluarga,” kata Isyan Tuaskial (33), salah satu warga Pelauw.

Pemuda Pelauw Rusman Angkotasan (30) mengatakan, semua pria yang telah akil baliq dan merupakan anak cucu Pelauw bisa mengikuti ritual ma’atenu tanpa syarat yang berat. Cukup bermodal keberanian, keyakinan akan kekuatan yang sudah ada dalam darahnya, serta mendapat restu orang tua, tubuhnya pasti kebal saat mengikuti ma’atenu.

Ma’atenu di Pelauw adalah warisan budaya masa lampau yang mengedepankan nilai-nilai Islam. Bagi sebagian warga Pelauw, mereka meyakini bahwa tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun itu adalah wujud dari jiwa keberanian Syaidina Ali, sahabat dan anak mantu Rasulullah yang terkenal pemberani di medan perang.

“Ma’atenu menunjukkan masyarakat Pelauw mewariskan nilai-nilai Syaidina Ali yang terkenal berani dalam medan perang dengan pedangnya,” ujar Rusman.

Saat ritual ma’atenu dilakukan, pukul 06.30 Wit, kaum pria dari rumahnya pergi menuju rumah soa (marga) atau rumah pusaka. Dalam perjalanan, umumnya mereka berada dalam kondisi trans (ka’a atau dikenal dengan sebutan kapitan) sambil memperlihatkan kekebalan dan ketahanan tubuh menghadapi senjata tajam lewat atraksi cakalele.

Ka’a adalah kondisi raga yang kebal dari berbagai jenis senjata tajam. Syarat melakukan ritual ini, senjata tajam yang digunakan haruslah setajam mungkin, karena jika tidak justru membuat badan menjadi sakit. Uniknya, tubuh mereka yang dipotong tidak meninggalkan luka. Kalaupun ada hanya berupa garisan bekas sayatan benda tajam.

Dari rumah soa, para pria yang sudah digunduli kepalanya itu berziarah ke makam para leluhur yang oleh warga setempat disebut Keramat. Prosesi pelaksanaannya terbagi dalam tiga kelompok besar yang menghimpun 13 soa di negeri Pelauw. Tiga kelompok ini pergi menuju tiga jurusan yang terdapat Keramat yakni makam para upu yang diyakini sebagai Wali Allah, yakni orang-orang suci yang menyiarkan agama Islam.

Jurusan pertama dikenal dengan Keramat Matasiri atau Latu Rima terdiri atas soa Sahubawa, Talaohu, Latuconsina, Latupono, dan Latuamury. Jurusan kedua yakni Keramat Waelurui terdiri atas soa Salampessy, Tuakia, Tualepe, Angkotasan, dan Tuankotta. Sedangkan jurusan ketiga Keramat Hunimoki atau Waelapia terdiri dari soa Tualeka, Tuahena, dan Tuasikal.

Dalam pelaksanaan ritual adat penuh magis ini, bukan saja kaum pria dari Pelauw, sejumlah pemuda dari negeri tetangga khususnya negeri-negeri adat Hatuhaha seperti Rohomoni dan Kabauw juga ikut ambil bagian. Hadirnya para pemuda dari negeri tetangga ini karena berdasarkan sejarah, moyang-moyang di Hatuhaha bersaudara dan mendirikan kampung secara terpisah yakni Pelauw, Kailolo, Kabauw, dan Rohomoni. Satu negeri lainnya yakni Ulaliuw juga adalah saudara empat negeri ini namun beralih agama dari Islam ke Kristen saat masa penjajahan Belanda.

Sesampainya di Keramat, tetua adat memberi sesembahan berupa pinang, daun sirih, dan kapur. Setelah sesembahan diletakan ditempatnya, tetua adat membakar damar dan berdoa kepada leluhur. Terdengar sesekali para kapitan meneriakan shalawat nabi. Sebelum kembali lagi ke kampung, para pemuda memakan perbekalan yang dibawa dan dimandikan oleh para kapitan di sungai. Dalam perjalanan pulang, seluruh peserta ma’atenu mempertontonkan kebolehannya membacok anggota tubuhnya di sepanjang perjalanan.

Untuk sampai ke Keramat, peserta ma’atenu harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki untuk pergi dan pulangnya. Keramat terjauh adalah Keramat Waelurui berjarak sekitar sembilan kilometer dan terdekat adalah Keramat Waelapia sekitar lima kilometer.

Setelah semua prosesi adat dijalankan di Keramat, sekitar pukul 15.00 Wit, kelompok Matasiri yang mengambil rute dari arah barat muncul di halaman mesjid dengan tabuhan genderang perang membuat suasana menjadi panas. Selang 30 menit kemudian, kelompok Waelurui dari arah timur muncul dengan genderang perang yang tidak kalah ramai. Hiruk-pikuk ini membuat warga Pelauw yang menonton baik pria maupun wanita ikut histeris.

Kelompok Waelapia muncul terakhir dari arah timur membuat suasana bertambah panas dan merinding. Peragaan cakalele ini akhirnya berakhir di pelataran mesjid. Untuk menghilangkan pengaruh kapitan yang masih melekat atau membekas, ibu-ibu dari masing-masing soa menyarungkan kain ma’alahe ke leher masing-masing pria yang ikut ma’atenu.

Sekretaris Negeri Pelauw Awaludin Angkotasan (66), mengatakan, tidak selamanya peserta ma’atenu kebal terhadap senjata tajam. Ada pantangan atau larangan tertentu yang tidak boleh dilanggar. Awaludin bahkan punya pengalaman sendiri ketika terluka saat mengikuti ma’atenu.

Saat itu dia berusia 13 tahun. Bersama sembilan rekannya, sesampai di Keramat mereka ditugaskan menjaga bekal makanan pasukan ma’atenu. Karena lapar, dia bersama kesembilan rekannya itu memakan bekal pasukan tanpa seijin kapitan. Saat kapitan datang dan mendapati mereka sudah makan lalu mengatakan “Kalian jangan cakalele saat pulang dari Keramat sampai ke kampung,” katanya menirukan larangan kapitan saat itu.

Karena tidak patuh, dia dan kesembilan rekannya terluka. “Para pejuang ma’atenu bisa terluka jika ada kesalahan, misalnya tidak ada ijin dari orang tua atau ada petunjuk tapi dilanggar. Setiap pelaksanaan ma’atenu pasti ada yang luka tapi jumlahnya sangat sedikit, itupun tidak sampai meninggal,” kata Awaludin sambil memperlihatkan bekas luka di perutnya.

Ritual ma’atenu sudah menjadi semacam keharusan bagi setiap laki-laki Pelauw. Hal itu penting untuk mengasah kelaki-lakian mereka menjadi seorang pemberani dan tidak kenal menyerah dalam setiap medan juang, selain mewarisi tradisi para leluhur yang telah berlangsung sejak awal abad ke-13 itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar