Welcome in Rasyid Blog

Membaca Adalah cara dimana dunia ada pada genggaman anda..
Jadi Teruslah membaca..
Semoga dapat bermanfaat bagi anda..

A-CHIED ANGKOTASAN

Sabtu, 01 September 2012

Wajah (Pemimpin) Indonesia

“Wajah (pemerintah) Indonesia itu harus diingatkan untuk selalu merenung agar nalar dapat memunculkan pertanyaan, benarkah kita manusia yang bertuhan? Yang diciptakan atas dasar rasa cinta dan kasih sayang?”
Wajah
            “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan. Oo ya oya o ya bongkar, oo ya o ya o ya bongkar.” Itulah sebagian lirik lagu Iwan Fals yang dinyayikan dalam acara perkenalan Badan Pengurus Kota Orang Indonesia (BPK-Oi) Medan beberapa pekan lalu.
            Kata cinta menjadi sebuah kata yang penting pada lagu itu. Sudah menjadi ketentuan alami jika manusia hidup tanpa rasa cinta maka tidak akan mungkin kedamaian dapat hadir di dunia. Erich Pinchas Fromm seorang psikolog kelahiran Jerman berunjar tentang lima syarat untuk mewujudkan cintah kasih yaitu; (1)  adanya perasaan, (2) adanya pengenalan, (3) adanya tanggung jawab, (4) adanya perhatian, (5) adanya sikap untuk saling menghormati. Namun, kelima hal yang dapat mewujudkan rasa cinta kasih itu kini sudah hilang dari wajah (pemimpin) Indonesia.
Wajah
            Pada tahun 2009 lalu masyarakat Indonesia sibuk memilih wajah para pemimpinnya dalam perhelatan akbar PEMILU. Wajah-wajah yang amat menjanjikan bagi pembangunan Indonesia kedepan-pun sibuk dicontreng masyarakat. Ada sekitar 560 wajah untuk duduk di DPR-RI di tambah dua wajah sebagai pemimpin eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Kini dua tahun sudah berlalu, wajah-wajah yang dipilih belum juga dapat mewakili aspirasi masyarakat yang memilihnya. Bahkan terkadang cenderung menghianati dan membodohi masyarakat dalam setiap kali pengambilan kebijakan.
            Wajah masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah kaum tani, nelayan, buruh dan pengawai negeri sipil dirundung kesepian yang mendalam akibat rasa cinta yang ada sudah hilang ditelan budaya pragmatisme politik. Kesepian yang mendalam membuat rasa kangen akan figure pemimpin yang memiliki rasa cinta (perasaan, pengenalan, tanggung jawab, perhatian, dan saling menghormati) terhadap rakyatnya muncul kepermukaan. Alamarhum W.S Rendra pernah bertutur indah tentang rasa kangen tersebut dalam puisinya yang berjudul kangen.
            “Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku, menghadapi kemerdekaan tanpa cinta, Kau tak akan mengerti bagaimana lukaku, karena cinta tlah menyembunyikan pisaunya, Membayangkan wajahmu adalah siksa, kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan, Engkau telah menjadi racun bagi darahku, Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti Aku tungku tanpa Api.”
            Gambaran W.S Rendra tentang kemerdekaan tanpa cinta menjadi keniscayaan untuk Indonesia sampai hari ini. Hilangnya perasaan terhadap sesama, kurangnya pengenalan dan saling menghormati, hilangnya rasa tanggung jawab, serta hilangnya perhatian terhadap masalah yang dirasakan oleh masyaraka menjadi sebuah kebobrokan tersendiri. Betapa banyaknya masyarakat yang sudah amat jemu dengan wajah pemimpinnya. Wajah-wajah itu sudah tidak dihargai lagi. Lihat saja bagaimana wajah-wajah dalam replika gambar itu diinjak-injak, dibakar, dicoret, dijatuhkan bahkan ditempelkan untuk menjadi topeng seekor kerbau.
Di Bawah Tiang Bendera
            Jika diingat lebih jauh sebenarnya kita semua adalah saudara yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi (yang bernama bumi nusantara Indonesia). Sepanjang pertumbuhan kita selalu diterpa oleh gelombang penjajahan bangsa Eropa baik langsung maupun tidak. Kemandirian kita terus diuji zaman. Walaupun demikian kita masih tetap bisa bersama, saling percaya dan terus menyakinkan langkah untuk memperjuangan cita-cita bangsa yaitu menciptakan manusia yang cerdas, adil dan beradab agar dapat melawati badai sejarah dunia yang lebih besar kelak.
            Jiwa dan raga ini tidak bisa mengingkari akan hal itu. Apabila rasa keadilan sudah mulai dipertanyakan, rasa keberadaban sudah punah, maka perlawanan akan muncul. Cinta mengingkat itu semua karena pada tanah yang sama kita berdiri dan pada air yang sama kita sudah pernah berjanji. Pada titik ini perlawanan diimplementasikan sebagai sebuah upaya untuk saling mengingatkan. Seharusnya ikatan darah itu dapat membuat kita berpikir ulang untuk tidak saling bertengkar, menipu dan mencuri hanya demi kepentingan kelompok semata. Wajah (pemerintah) Indonesia itu harus diingatkan untuk selalu merenung agar nalar dapat memunculkan pertanyaan, benarkah kita manusia yang bertuhan? Yang diciptakan atas dasar rasa cinta dan kasih sayang?
            Sebenarnya merah-putih sudah menjadi tanda bagi kita. Tanda yang sering kita bawa kemana-mana. Karena merah-putih merupakan campuran segala bentuk identitas kelompok, identitas lokal kedaerahan dan lain sebagainya menjadi satu identitas yaitu identitas nasional yang hampir setiap seninnya selalu kita hormati dengan iringi doa; “hidup-lah tanah-ku, hidup-lah negeri-ku, bangsa-ku, rakyat-ku semuanya. Bangun-lah jiwanya, bangun-lah badannya untuk Indonesia raya yang merdeka.” Dibawah tiang bendera kita ucapkan itu. Sampai sekarang doa itu terus dilantunkan oleh ribuan wajah Indonesia yang entah sampai kapan akan bisa terkabul menjadi sebuah kenyataan.
            Dengan berjalannya waktu. Kini kebanyakan wajah-wajah Indonesia itu sudah tau bahwa yang dikatakan kemerdekaan sebenarnya adalah sebuah kebebasan, kekuatan, kekayaan dan kemakmuran. Jauh panggang dari api. Kemerdekaan hanya menjadi sibol karena wajah-wajah (pemimpin) Indonesia yang hadir ke permukaan masih jauh dari rasa cinta.
Penutup
            Dalam jangka waktu dekat ini (2013) untuk skala lokal sumatera utara akan diadakan perhelatan akbar Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU). Perhelatan ini jangan disia-siakan untuk memilih wajah pemimpin yang benar-benar memiliki rasa cinta akan rakyatnya. Masa lalu harus dijadikan pembelajaran agar kesalahan dalam memilih pemimpin dapat diminimalisir. Jangan hanya karena ia seorang yang suka memberikan uangnya kepada kita lalu dengan mudahnya kita memilih dia untuk menjadi pemimpin kita. Padahal uang tersebut tanpa kita sadari adalah hasil korupsi.
            Harapan lebih jauh muncul jika kita sudah berhasil memillih pemimpin lokal yang memiliki rasa cinta. Maka pada tahun berikutnya (2014) akan lebih mudah bagi kita dalam memilih wakil-wakil di parlement dan kepresidenan. Pilihan harus dilakukan, jangan sampai wajah yang sudah kita piilih itu malah membuat kita lebih susah.
            Akhirnya, sepenggal lirik lagu Iwan Fals ini mungkin dapat mewakili semua maksud yang tertuju. Bahwa rakyat tidak pernah berhenti untuk menyuarakan rasa cinta dan kasih itu. “bibirku bergerak tetap nyanyikan cinta walau ku tau tak terdengar. Jari-ku menari tetap takkan berhenti sampai wajah tak murung lagi. Amarah sempat dalam dada, namun akalku menerkam. Ku-bernyanyi di matahari, ku-petik gitar di rembulan. Di balik bening mata air, tak pernah ada air mata.” Dan lagu ini-pun dijadikan lagu penutup pada malam perkenalan pengurus BPK Oi Medan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar