“Kalau cinta sudah
dibuang, jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan
bagi mereka yang diperbudak jabatan. Oo ya oya o ya bongkar, oo ya o ya o
ya bongkar.” Itulah sebagian lirik lagu Iwan Fals yang dinyayikan
dalam acara perkenalan Badan Pengurus Kota Orang Indonesia (BPK-Oi)
Medan beberapa pekan lalu.
Kata cinta menjadi sebuah
kata yang penting pada lagu itu. Sudah menjadi ketentuan alami jika
manusia hidup tanpa rasa cinta maka tidak akan mungkin kedamaian dapat
hadir di dunia. Erich Pinchas Fromm seorang psikolog kelahiran Jerman
berunjar tentang lima syarat untuk mewujudkan cintah kasih yaitu; (1)
adanya perasaan, (2) adanya pengenalan, (3) adanya tanggung jawab, (4)
adanya perhatian, (5) adanya sikap untuk saling menghormati. Namun,
kelima hal yang dapat mewujudkan rasa cinta kasih itu kini sudah hilang
dari wajah (pemimpin) Indonesia.
Wajah
Pada tahun 2009 lalu
masyarakat Indonesia sibuk memilih wajah para pemimpinnya dalam
perhelatan akbar PEMILU. Wajah-wajah yang amat menjanjikan bagi
pembangunan Indonesia kedepan-pun sibuk dicontreng masyarakat. Ada
sekitar 560 wajah untuk duduk di DPR-RI di tambah dua wajah sebagai
pemimpin eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Kini dua tahun sudah
berlalu, wajah-wajah yang dipilih belum juga dapat mewakili aspirasi
masyarakat yang memilihnya. Bahkan terkadang cenderung menghianati dan
membodohi masyarakat dalam setiap kali pengambilan kebijakan.
Wajah masyarakat Indonesia
yang kebanyakan adalah kaum tani, nelayan, buruh dan pengawai negeri
sipil dirundung kesepian yang mendalam akibat rasa cinta yang ada sudah
hilang ditelan budaya pragmatisme politik. Kesepian yang mendalam
membuat rasa kangen akan figure pemimpin yang memiliki rasa cinta
(perasaan, pengenalan, tanggung jawab, perhatian, dan saling
menghormati) terhadap rakyatnya muncul kepermukaan. Alamarhum W.S Rendra
pernah bertutur indah tentang rasa kangen tersebut dalam puisinya yang
berjudul kangen.
“Kau tak akan mengerti
bagaimana kesepianku, menghadapi kemerdekaan tanpa cinta, Kau tak akan
mengerti bagaimana lukaku, karena cinta tlah menyembunyikan pisaunya,
Membayangkan wajahmu adalah siksa, kesepian adalah ketakutan dalam
kelumpuhan, Engkau telah menjadi racun bagi darahku, Apabila aku dalam
kangen dan sepi, itulah berarti Aku tungku tanpa Api.”
Gambaran W.S Rendra tentang
kemerdekaan tanpa cinta menjadi keniscayaan untuk Indonesia sampai hari
ini. Hilangnya perasaan terhadap sesama, kurangnya pengenalan dan saling
menghormati, hilangnya rasa tanggung jawab, serta hilangnya perhatian
terhadap masalah yang dirasakan oleh masyaraka menjadi sebuah kebobrokan
tersendiri. Betapa banyaknya masyarakat yang sudah amat jemu dengan
wajah pemimpinnya. Wajah-wajah itu sudah tidak dihargai lagi. Lihat saja
bagaimana wajah-wajah dalam replika gambar itu diinjak-injak, dibakar,
dicoret, dijatuhkan bahkan ditempelkan untuk menjadi topeng seekor
kerbau.
Di Bawah Tiang Bendera
Jika diingat lebih jauh
sebenarnya kita semua adalah saudara yang dilahirkan dari rahim ibu
pertiwi (yang bernama bumi nusantara Indonesia). Sepanjang pertumbuhan
kita selalu diterpa oleh gelombang penjajahan bangsa Eropa baik langsung
maupun tidak. Kemandirian kita terus diuji zaman. Walaupun demikian
kita masih tetap bisa bersama, saling percaya dan terus menyakinkan
langkah untuk memperjuangan cita-cita bangsa yaitu menciptakan manusia
yang cerdas, adil dan beradab agar dapat melawati badai sejarah dunia
yang lebih besar kelak.
Jiwa dan raga ini tidak bisa
mengingkari akan hal itu. Apabila rasa keadilan sudah mulai
dipertanyakan, rasa keberadaban sudah punah, maka perlawanan akan
muncul. Cinta mengingkat itu semua karena pada tanah yang sama kita
berdiri dan pada air yang sama kita sudah pernah berjanji. Pada titik
ini perlawanan diimplementasikan sebagai sebuah upaya untuk saling
mengingatkan. Seharusnya ikatan darah itu dapat membuat kita berpikir
ulang untuk tidak saling bertengkar, menipu dan mencuri hanya demi
kepentingan kelompok semata. Wajah (pemerintah) Indonesia itu harus
diingatkan untuk selalu merenung agar nalar dapat memunculkan
pertanyaan, benarkah kita manusia yang bertuhan? Yang diciptakan atas
dasar rasa cinta dan kasih sayang?
Sebenarnya merah-putih sudah
menjadi tanda bagi kita. Tanda yang sering kita bawa kemana-mana. Karena
merah-putih merupakan campuran segala bentuk identitas kelompok,
identitas lokal kedaerahan dan lain sebagainya menjadi satu identitas
yaitu identitas nasional yang hampir setiap seninnya selalu kita hormati
dengan iringi doa; “hidup-lah tanah-ku, hidup-lah negeri-ku,
bangsa-ku, rakyat-ku semuanya. Bangun-lah jiwanya, bangun-lah badannya
untuk Indonesia raya yang merdeka.” Dibawah tiang bendera kita
ucapkan itu. Sampai sekarang doa itu terus dilantunkan oleh ribuan wajah
Indonesia yang entah sampai kapan akan bisa terkabul menjadi sebuah
kenyataan.
Dengan berjalannya waktu.
Kini kebanyakan wajah-wajah Indonesia itu sudah tau bahwa yang dikatakan
kemerdekaan sebenarnya adalah sebuah kebebasan, kekuatan, kekayaan dan
kemakmuran. Jauh panggang dari api. Kemerdekaan hanya menjadi sibol
karena wajah-wajah (pemimpin) Indonesia yang hadir ke permukaan masih
jauh dari rasa cinta.
Penutup
Dalam jangka waktu dekat ini
(2013) untuk skala lokal sumatera utara akan diadakan perhelatan akbar
Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU). Perhelatan ini jangan
disia-siakan untuk memilih wajah pemimpin yang benar-benar memiliki rasa
cinta akan rakyatnya. Masa lalu harus dijadikan pembelajaran agar
kesalahan dalam memilih pemimpin dapat diminimalisir. Jangan hanya
karena ia seorang yang suka memberikan uangnya kepada kita lalu dengan
mudahnya kita memilih dia untuk menjadi pemimpin kita. Padahal uang
tersebut tanpa kita sadari adalah hasil korupsi.
Harapan lebih jauh muncul
jika kita sudah berhasil memillih pemimpin lokal yang memiliki rasa
cinta. Maka pada tahun berikutnya (2014) akan lebih mudah bagi kita
dalam memilih wakil-wakil di parlement dan kepresidenan. Pilihan harus
dilakukan, jangan sampai wajah yang sudah kita piilih itu malah membuat
kita lebih susah.
Akhirnya, sepenggal lirik
lagu Iwan Fals ini mungkin dapat mewakili semua maksud yang tertuju.
Bahwa rakyat tidak pernah berhenti untuk menyuarakan rasa cinta dan
kasih itu. “bibirku bergerak tetap nyanyikan cinta walau ku tau tak
terdengar. Jari-ku menari tetap takkan berhenti sampai wajah tak murung
lagi. Amarah sempat dalam dada, namun akalku menerkam. Ku-bernyanyi di
matahari, ku-petik gitar di rembulan. Di balik bening mata air, tak
pernah ada air mata.” Dan lagu ini-pun dijadikan lagu penutup pada malam perkenalan pengurus BPK Oi Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar