Welcome in Rasyid Blog

Membaca Adalah cara dimana dunia ada pada genggaman anda..
Jadi Teruslah membaca..
Semoga dapat bermanfaat bagi anda..

A-CHIED ANGKOTASAN

Sabtu, 01 September 2012

Soe Hok Gie: Kegelisahan tanpa Ujung


soe_hok_gie11
Peristiwa itu masih melekat di benak Herman Lantang, 65 tahun. “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir sebelum puncak.
Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing-puing kayu yang tertutup abu licin. Target sampai pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda darurat), mereka rehat. Kabut tampak tebal di puncak Mahameru. Aristides, Hok Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul belakangan.

“Man, jangan lama-lama di puncak, ya, cuacanya nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides itu ditujukan kepada Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun dari puncak dan berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah. Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing Herman.
Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”
Herman shock dan panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.
Sampai kapan pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”
* * *
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus dipahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.
Di sini, tentunya disertasi John Maxwell, Soe Hok Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, menjadi tumpuan penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu memberi konteks situasional pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan menampilkan sosok Gie semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat watak kritis pemberontakannya mulai terbentuk.
Gie remaja tumbuh besar (diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan melebihi teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di bilangan Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan sempit itu, ia bergaul erat dengan anak-anak kampung.
Ayah Gie adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan sastrawan Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), tak pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing ayahnya. “Kami sering ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan Gadjah Mada. Gie senangnya meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln,” kenang Arief.
Pada waktu itu, ayahnya tak lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami kebatinan, buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah sering ke sana, kumpul-kumpul membicarakan religiositas,” kata Arief. Di film ditampilkan peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti Kirana), lebih menonjol dari ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu, pasif. Apatis. Tatapannya kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab, kata Arief, “Ayah saya memang di keluarga pendiam, tapi kalau dengan teman-temannya meriah.”
Simpati Gie pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah suatu kali ia membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok, teman sekolah asal Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk menginap di rumah. Hal itu kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok dicari bibinya. Adegan ini ada dalam film. Riri mengembangkannya. Hok (dalam film bernama Chin Han) saat dewasa menjadi kader PKI dan akhirnya diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini tambahan fiksi dari saya,” kata Riri.
Dalam film tak pernah diperlihatkan hubungan intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman mengakui, “Memang, hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik. Kami diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia, karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah semut. Gie yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong seperlunya saja.”
* * *
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Film berusaha menampilkan independensi Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Film menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian Ketua Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja. Sering saya dengar si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu serahkan si Uban,” tutur Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie. Herman mengakui Gie adalah “aktor intelektual” sekaligus “provokator” yang gigih untuk membujuk mereka semua naik gunung, juga kepada para mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik gunung adalah Meutia Hatta (kini Menteri Peranan Wanita kabinet SBY-Kalla).”
Film juga menampilkan Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat pemberontakan Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang disebut mobile head quarter karena berpindah-pindah itu, ia mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah di Indonesia. Tujuannya untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini dinamakannya Gerakan Pembaharuan.
Awal mula Gie terlibat Gerakan Pembaharuan adalah ketika ia sering nongkrong di bekas markas besar PSI, Jalan Cisadane, Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan, yang pernah dipenjara karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk untuk mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi sahabat-sahabat karibnya.
“Jaringan ini terdiri atas sekumpulan unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli Londa, dan Hok Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie Lasut. “Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri biasanya diselundupkan kepada pilot Garuda yang masuk dalam jaringan kita,” kenang Boeli.
Bersama mereka, Gie menyebarkan selebaran itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,” tutur Jopie Lasut. Di luar itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang dianggapnya anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di zaman Gus Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua Gabungan Satu Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar tentara betul-betul mengkritik Soekarno,” katanya.
Pada 1966, mahasiswa tumpah ke jalan secara besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di Fakultas Sastra UI berpawai dari Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang selalu resah,” kata Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas Ekonomi UI. Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.
Banyak yang melihat Gie sebagai sosok “Mat Gawat”, seseorang yang melihat persoalan dengan kacamata selalu dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu menyampaikan bahwa Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.
Beberapa waktu kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas militernya. Dengan wajah serius sekali Gie berkata dengan suara seakan memberi laporan: “Tukang copet Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap dan akan segera bergerak begitu ada instruksi dari sini!”
“Yang gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense of drama-nya luar biasa,” kata Nono.
Pernah di kali lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan, membicarakan Zainal Zakse, wartawan Harian Kami yang terluka parah akibat tusukan bayonet dalam demo di depan Istana Presiden, 3 Oktober 1966. Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan berbisik keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar. Tapi kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.
Karakter demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya tajam. Ringkas. Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie aktif menulis. “Setiap kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A. Dahana, guru besar Jurusan Sastra Cina UI. Tulisan-tulisannya juga dikumandangkan radio Ampera yang dikelola abangnya. “Sejak peristiwa PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak akrab, seperlunya saja,” kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.
Terkadang tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa melupakan ketika Gie ikut penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, lantaran dianggap terus mendukung PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat tembok kantor itu begitu cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan dokumen-dokumen di sana….”
* * *
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
Meski Soekarno telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat banyak teman perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim BH dan lipstik kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk sebagai anggota DPR-GR,” Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu menjadi anggota Dewan sebagai wakil dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
“Konsep Gie mengenai peran mahasiswa itu seperti film koboi. Sang koboi turun ketika kota kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi lagi,” kata A. Dahana. Pada pemerintahan yang baru, Gie juga terpana menatap fakta adanya pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran terhadap anggota PKI dan warga yang diduga PKI. Ia menulis tajam dan keras. Ia kecewa, intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar Lubis termasuk yang menyokong penahanan ini.
“Hok Gie termasuk intelektual yang lebih awal mengkritik pembantaian PKI. Dia termasuk di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap menulis. “Tulisan-tulisan dia sangat tajam, sampai saya harus memotong tulisan itu banyak sekali.”
Kekecewaan lain pada Sumitro yang, setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam kabinet Orde Baru dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah saya menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset, tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.
Alinea yang dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian Mahasiswa Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat senada juga dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967. “Mereka mengeluh saya keras kepala…. But I can’t change my personality…. Pengobat dari semua kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam. Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati.”
Dalam akhir catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan teman-teman wanitanya. Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan nama-nama mereka yang dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina, dan Sunarti yang bukan nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia cinta berat sama Maria,” ujar Herman Lantang.
Di saat kesepian, tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami perjuangannya. Ia terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau ngomong soal cewek. Banyak berteori tentang cewek, sementara dirinya sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata Boeli Londa.
Dalam film, perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya hendak ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan ciuman dengan Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak menyebut sahabat perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman maupun Jopie Lasut tak percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya nggak yakin Hok Gie begitu. Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi, pasti ceweknya dulu yang memulai hahaha….”
John Maxwell melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi melihat masa depan negara ini. There are men and women so lonely they believe God too is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu kesepian sehingga mereka percaya Tuhan pun kesepian) tulis Gie ketika umurnya 19 tahun. Pada usia 27 tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian abadinya. Dan sekarang Nicholas Saputra mengekalkannya sebagai sebuah citra.

Perancang Lambang Garuda Pancasila yang Terlupakan


Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.
Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.
Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.

Wajah (Pemimpin) Indonesia

“Wajah (pemerintah) Indonesia itu harus diingatkan untuk selalu merenung agar nalar dapat memunculkan pertanyaan, benarkah kita manusia yang bertuhan? Yang diciptakan atas dasar rasa cinta dan kasih sayang?”
Wajah
            “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan. Oo ya oya o ya bongkar, oo ya o ya o ya bongkar.” Itulah sebagian lirik lagu Iwan Fals yang dinyayikan dalam acara perkenalan Badan Pengurus Kota Orang Indonesia (BPK-Oi) Medan beberapa pekan lalu.
            Kata cinta menjadi sebuah kata yang penting pada lagu itu. Sudah menjadi ketentuan alami jika manusia hidup tanpa rasa cinta maka tidak akan mungkin kedamaian dapat hadir di dunia. Erich Pinchas Fromm seorang psikolog kelahiran Jerman berunjar tentang lima syarat untuk mewujudkan cintah kasih yaitu; (1)  adanya perasaan, (2) adanya pengenalan, (3) adanya tanggung jawab, (4) adanya perhatian, (5) adanya sikap untuk saling menghormati. Namun, kelima hal yang dapat mewujudkan rasa cinta kasih itu kini sudah hilang dari wajah (pemimpin) Indonesia.
Wajah
            Pada tahun 2009 lalu masyarakat Indonesia sibuk memilih wajah para pemimpinnya dalam perhelatan akbar PEMILU. Wajah-wajah yang amat menjanjikan bagi pembangunan Indonesia kedepan-pun sibuk dicontreng masyarakat. Ada sekitar 560 wajah untuk duduk di DPR-RI di tambah dua wajah sebagai pemimpin eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden). Kini dua tahun sudah berlalu, wajah-wajah yang dipilih belum juga dapat mewakili aspirasi masyarakat yang memilihnya. Bahkan terkadang cenderung menghianati dan membodohi masyarakat dalam setiap kali pengambilan kebijakan.
            Wajah masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah kaum tani, nelayan, buruh dan pengawai negeri sipil dirundung kesepian yang mendalam akibat rasa cinta yang ada sudah hilang ditelan budaya pragmatisme politik. Kesepian yang mendalam membuat rasa kangen akan figure pemimpin yang memiliki rasa cinta (perasaan, pengenalan, tanggung jawab, perhatian, dan saling menghormati) terhadap rakyatnya muncul kepermukaan. Alamarhum W.S Rendra pernah bertutur indah tentang rasa kangen tersebut dalam puisinya yang berjudul kangen.
            “Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku, menghadapi kemerdekaan tanpa cinta, Kau tak akan mengerti bagaimana lukaku, karena cinta tlah menyembunyikan pisaunya, Membayangkan wajahmu adalah siksa, kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan, Engkau telah menjadi racun bagi darahku, Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti Aku tungku tanpa Api.”
            Gambaran W.S Rendra tentang kemerdekaan tanpa cinta menjadi keniscayaan untuk Indonesia sampai hari ini. Hilangnya perasaan terhadap sesama, kurangnya pengenalan dan saling menghormati, hilangnya rasa tanggung jawab, serta hilangnya perhatian terhadap masalah yang dirasakan oleh masyaraka menjadi sebuah kebobrokan tersendiri. Betapa banyaknya masyarakat yang sudah amat jemu dengan wajah pemimpinnya. Wajah-wajah itu sudah tidak dihargai lagi. Lihat saja bagaimana wajah-wajah dalam replika gambar itu diinjak-injak, dibakar, dicoret, dijatuhkan bahkan ditempelkan untuk menjadi topeng seekor kerbau.
Di Bawah Tiang Bendera
            Jika diingat lebih jauh sebenarnya kita semua adalah saudara yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi (yang bernama bumi nusantara Indonesia). Sepanjang pertumbuhan kita selalu diterpa oleh gelombang penjajahan bangsa Eropa baik langsung maupun tidak. Kemandirian kita terus diuji zaman. Walaupun demikian kita masih tetap bisa bersama, saling percaya dan terus menyakinkan langkah untuk memperjuangan cita-cita bangsa yaitu menciptakan manusia yang cerdas, adil dan beradab agar dapat melawati badai sejarah dunia yang lebih besar kelak.
            Jiwa dan raga ini tidak bisa mengingkari akan hal itu. Apabila rasa keadilan sudah mulai dipertanyakan, rasa keberadaban sudah punah, maka perlawanan akan muncul. Cinta mengingkat itu semua karena pada tanah yang sama kita berdiri dan pada air yang sama kita sudah pernah berjanji. Pada titik ini perlawanan diimplementasikan sebagai sebuah upaya untuk saling mengingatkan. Seharusnya ikatan darah itu dapat membuat kita berpikir ulang untuk tidak saling bertengkar, menipu dan mencuri hanya demi kepentingan kelompok semata. Wajah (pemerintah) Indonesia itu harus diingatkan untuk selalu merenung agar nalar dapat memunculkan pertanyaan, benarkah kita manusia yang bertuhan? Yang diciptakan atas dasar rasa cinta dan kasih sayang?
            Sebenarnya merah-putih sudah menjadi tanda bagi kita. Tanda yang sering kita bawa kemana-mana. Karena merah-putih merupakan campuran segala bentuk identitas kelompok, identitas lokal kedaerahan dan lain sebagainya menjadi satu identitas yaitu identitas nasional yang hampir setiap seninnya selalu kita hormati dengan iringi doa; “hidup-lah tanah-ku, hidup-lah negeri-ku, bangsa-ku, rakyat-ku semuanya. Bangun-lah jiwanya, bangun-lah badannya untuk Indonesia raya yang merdeka.” Dibawah tiang bendera kita ucapkan itu. Sampai sekarang doa itu terus dilantunkan oleh ribuan wajah Indonesia yang entah sampai kapan akan bisa terkabul menjadi sebuah kenyataan.
            Dengan berjalannya waktu. Kini kebanyakan wajah-wajah Indonesia itu sudah tau bahwa yang dikatakan kemerdekaan sebenarnya adalah sebuah kebebasan, kekuatan, kekayaan dan kemakmuran. Jauh panggang dari api. Kemerdekaan hanya menjadi sibol karena wajah-wajah (pemimpin) Indonesia yang hadir ke permukaan masih jauh dari rasa cinta.
Penutup
            Dalam jangka waktu dekat ini (2013) untuk skala lokal sumatera utara akan diadakan perhelatan akbar Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU). Perhelatan ini jangan disia-siakan untuk memilih wajah pemimpin yang benar-benar memiliki rasa cinta akan rakyatnya. Masa lalu harus dijadikan pembelajaran agar kesalahan dalam memilih pemimpin dapat diminimalisir. Jangan hanya karena ia seorang yang suka memberikan uangnya kepada kita lalu dengan mudahnya kita memilih dia untuk menjadi pemimpin kita. Padahal uang tersebut tanpa kita sadari adalah hasil korupsi.
            Harapan lebih jauh muncul jika kita sudah berhasil memillih pemimpin lokal yang memiliki rasa cinta. Maka pada tahun berikutnya (2014) akan lebih mudah bagi kita dalam memilih wakil-wakil di parlement dan kepresidenan. Pilihan harus dilakukan, jangan sampai wajah yang sudah kita piilih itu malah membuat kita lebih susah.
            Akhirnya, sepenggal lirik lagu Iwan Fals ini mungkin dapat mewakili semua maksud yang tertuju. Bahwa rakyat tidak pernah berhenti untuk menyuarakan rasa cinta dan kasih itu. “bibirku bergerak tetap nyanyikan cinta walau ku tau tak terdengar. Jari-ku menari tetap takkan berhenti sampai wajah tak murung lagi. Amarah sempat dalam dada, namun akalku menerkam. Ku-bernyanyi di matahari, ku-petik gitar di rembulan. Di balik bening mata air, tak pernah ada air mata.” Dan lagu ini-pun dijadikan lagu penutup pada malam perkenalan pengurus BPK Oi Medan.  

Coretan dan Tanda Keresahan

Sudah Lewat beberapa bulan ini,  (18-19 april 2012) mereka para siswa SMA/SMK telah mengakhiri masa sekolahnya. kebanyakan  dari mereka merayakannya dengan mencoret baju seragam sekolah yang mereka pakai.
Entah apa maksudnya, namun yang jelas ini sudah menjadi budaya sejak dulu bagi para siswa SMA/SMK yang telah selesai mengikuti ujian nasional. mungkin jika dilihat lebih jauh bisa saja ini merupakan suatu bentuk penyampaian ekspresi bagi para siswa.
ekspresi yang bisa saja muncul atas rasa kebahagian karena sudah lepas dari belenggu tugas-tugas sekolah, atau atas rasa kesedihan karena harus berpisah dengan teman-teman sekolah, atau ekspresi ini muncul atas dasar keresahan karena setelah ini tidak tau harus kemana.
Ya, untuk ekspresi yang terakhir, selalu saja menjadi problema tersendiri bagi para siswa yang telah tamat sekolah. Apakah nanti mereka dapat melanjutkan kuliah yang membutuhkan banyak biaya? atau mereka harus bekerja, yang sekarang amat sulit untuk dicari. apalagi kebanyakan syarat untuk bisa bekerja adalah memiliki izajah S1.
Jika ini memang adalah bentuk keresahan bagi para remaja, tentu bukan perkara gampang untuk mengatasi aksi coret-coret ini. secara prakmatis memang tujuan dari pendidikan adalah menciptakan manusia sebagai pekerja guna memenuhi kebutuhan hidup. Namun tujuan itu tidak terealisasikan dengan baik.
Harus diakui untuk menjadi pekerja di negara yang super payah ini bukan-lah suatu hal yang gampang. Karena kemampuan seseorang terkadang harus terhadang dengan budaya nepotis” anak bangsa. Sehingga akses dan beking yang kuat ditambah uang yang banyak menjadi keniscayaan untuk mereka yang ingin mendapatkan suatu pekerjaan yang layak.
kini, mereka para siswa itu sudah mulai resah. resah akan masa depan yang tak pasti. Perguruan tinggi juga belum dapat menjamin apakah akan adanya harapan pekerjaan ditengah banyaknya penganguran zaman ini. sukur saja jika keresahan itu hanya dilampiaskan dengan cara mencoret-coret baju seragam, rok dan mengecat rambut. jangan sampai keresahan itu dilanjutkan dengan jalan anarkis dan kriminal.
Akhirnya, pertanyaan yang muncul pada benak setiap anak bangsa adalah siapa yang harus bertanggung jawab atas masa depan mereka yang serba tak pasti ini ?

mereka yang resah

Dekonstruksi Gerakan Sosial dan Upaya Perlawanan Terhadap Kapitalisme Neoliberal

Tampak demikian jelas di depan mata kita, bagaimana perwajahan dunia sekarang. Sebuah tatanan dunia yang jauh dari keadilan. Tatanan dunia ini dipercaya sebuah keniscaan alami, seolah berjalan dengan sendirinya mengikuti hukum seleksi alam, bahkan Herbert Spencer mempercayai keyakinan bahwa pasar (market) merupakan seleksi alam yang paling beradab.
Sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Demikian yang dikatakan oleh Revrison Basir (2005). Kapitalisme Neoliberal merupakan bentuk metamorfosa baru dari sistem imperialisme yang sebelumnya telah melakukan pemerasan di negara-negara dunia ketiga melalui proses kolonialisme. Kapitalisme bekerja secara sistematis yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan imperialis baik secara global maupun domestik (kaum globalis). Kapitalisme global berhasil memperluas jangkauan pasarnya dengan mengemas nama dan citra serta ikon baru “Globalisasi”. Praktis hampir seluruh masyarakat dunia menyambutnya dengan suka cita, tidak terkecuali para akademisi, politisi dan ekonom kita yang mendapatkan pendidikan dari hasil keringat rakyat.
Pemerintahan/negara di dunia ketiga, tak ketinggalan dengan issu ini. Pemerintahan sibuk mempersiapkan perangkat-perangkat untuk menyongsong era ini. Khususnya di Indonesia, pada era rezim Soeharto kita mengenal sistem pembangunan (develomentalism). Sistem develomentalisme ini , merupan model kapitalisme di negara Asia Timur, yang telah ditinggalkan menuju ke sistem baru dengan nama Globalisasi. Proses transisis ini ditandai dengan penyusunan regulasi-regulasi dan kebikajan penyesuaian terhadap mekanisme pasar. Proses selanjutnya adalah terlibat aktif dalam globalisasi itu dengan berbekal perangkat perundang-undangan, dengan demikian posisi negera kita saat ini adalah berada dalam proses globalisasi, maka seluruh tenaga pun mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah-daerah melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan keinginan pasar. Telah kita saksikan langkah tersebut dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan liberalisasi sektor-sektor pelayanan publik, privatisasi kekayaan, ataupun swastanisasi BUMN.
Alhasil, lembaga-lembaga pendidikan (khususnya pendidikan tinggi), pelayanan kesehatan (rumah-rumah sakit) terjerumus kedalam logika untung-rugi, tambang-tambang strategis nasional jatuh ke tangan asing, angka kemiskinan yang mengerikan, ledakan pengangguran yang membludak, semakin rendahnya tingkat pengetahuan/pendidikan masyarakat, pengusuran-penggusuran, antrian pembelian BBM, kelaparan, dan berbagai tindak kriminal yang memilukan akibat dari sebuah kebijakan negara yang pro terhadap pasar.

Sekilas tetang Kapitalisme neoliberal
Jika kita menelusuri lebih jauh, gagasan-gagasan pokok kapitalisme neoliberal dapat dilacak dari akar-akar pemikiran tokoh-tokoh filsafat Inggris, seperti Adam Smith (1723-1790) yang mempunyai gagasan tentang homo economicus, bahwa masyarakat yang terdiri dari individu bertindak sesuai dengan kepentingan ekonominya dan kegiatan ekonomi sama sekali terpisah dengan politik, sehingga jika negara berperan dalam kegiatan ekonomi, maka akan merusak mekanisme pasar. Pasar dengan sendirinya akan mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang disebut self regulation. David Ricardo (1772-1823) yang berpandangan bahwa perdagangan bebas akan sama-sama menguntungkan, sehingga setiap negara mengkhususkan diri untuk memproduksi baran atau jasa tertentu, dan dapat memberi keuntungan komparatif terhadap negara yang memproduksi barang dan jasa yang lain. Ia menambahkan bahwa spesialisasi perdagangan akan tetap meningkat, meskipun sebuah negara memiliki keuntungan yang lebih banyak ketika ia dapat berproduksi barang yang beragam. Ini secara politis melahirkan argumentasi yang kuat untuk membatasi peran negara dalam hal produksi barang dan jasa yang beragam, meskipun negara itu mampu secara sumber daya alam. Pandangan ketiga lahir dari pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) yang menguatkan teori seleksi alam ala Darwin. Ia mengatakan bahwa ekonomi pasar merupakan bentuk paling beradab dari persaingan antar manusia secara alami dan menempatkan posisi yang paling kuat sebagai pemenang.
Noam Chomsky (1999) menjelaskan bahwa aturan dasar kaum neolibaral adalah liberalisasikan perdagangan dan finance, biarkan pasar yang menentukan harga, akhiri inflasi, stabilitas ekonomi makro, privatisasi, negara tidak boleh campur tangan dalam urusan pasar. Lebih lanjut Mansour Fakih (2002), bahwa yang menjadi dasar dari pendirian kapitalisme neoliberal adalah ditandai dengan karakter kebijakan pasar yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan terhadap tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta penyingkiran birokrat pemerintah. Paham inilah yang dijajakan atau lebih tepatnya dipaksakan diberbagai negara-negara, terutama di negara-negara dunia ketiga yang baru terlepas dari belenggu imperialis-klonialis, yang di kenal dengan nama globalisasi.
Proyek tata dunia globalisasi ini tidak terlepas dari sebuah pertemuan para pembela ekonomi privat terutama dari wakil korporasi internasional yang mengontrol perekonomian dunia dan pemilik kuasa informasi dalam rangka pembentukan opini dunia yang dikenal dengan The Noeliberal Washington Consensus. Ada sepuluh ajaran yang dicetuskan dari pertemuan tersebut, yang mereka sebuat sebagai “reformasi” yang pada dasarnya berpijak pada ketentuan yang telah mereka tetapkan dan menjadi sebagai kebijakan pasar bebas. Ajaran Washington Consensus adalah :
  1. Disiplin fiskal, yang intinya adalah memerangi defisit anggaran;
  2. Public expenditure atau anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran pemerintah melalui pemotongan segala subsidi;
  3. Pembaharuan pajak, berupa pemberian kelonggaran bagi pengusaha untuk kemudahan pembayaran pajak
  4. Liberalisasi keuangan, berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar;
  5. Nilai tukar uang yang kompetitif, berupa kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah;
  6. Trade liberalisation barrier, kebijakan untuk menyingkirkan hal-hal yang dapat menggangu mekanisme pasar, berupa kebijakan menggati bentuk lisensi perdagangan dengan tarif dan pengurangan bea tarif;
  7. Foreign direct investment, berupa kebijakan untuk menghilangkan aturan pemerintah yang dapat menghalangi/menghambat masuknya modal asing;
  8. Privatisaasi, yaitu kebijakan memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta;
  9. Deregulasi kompetisi;
  10. Intellectual Property Rights atau hak paten.
Di Indonesia, secara gamblang kita saksikan penerapan pokok-pokok dari kebijakan neoliberalisme ini dengan menjauhkan pemerintah dalam urusan perburuhan, investasi, harga, penghentian subsidi, privatisasi BUMN, menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada ahlinya (asing) bukan kepada masyarakat adat. Nyatalah bahwa negeri kita telah berada pada pusaran globalisasi yang meniscayakan pada penggunaan logika pasar. Pembuatan regulasi berupa UU PMA, UU PSDA, UU BHP, dan beberapa regulasi yang lain tujuannya hanya untuk mempermulus lajunya aliran keuntungan dilarikan keluar negeri, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Nyaris semua sektor telah rasuki oleh tatanan ini, bahkan dalam ruang dan kehidupan kita diwarnai dengan watak ataupun corak kapitalisme. Kebudayaan yang juga dipaksakan untuk menjadi kebudayaan tunggal yang harus mengikuti selera pasar, maka terciptalah kebudayaan populer (pop culture) yang sifatnya serba instant, mudah, cepat, dangkal dan tentunya di senangi banyak orang. Sadar atau tidak kebutuhan-kebutuhan dasar kita pun dieksploitasi habis-habisan. Apa, dan bagaimana selera makan, selera pakaian dan (mungkin?) bahkan cara berpikir kita juga telah mengikuti kehendak pasar.
Lantas adakah ruang yang masih tersisa? atau masih adakah harapan untuk sebuah tatanan dunia yang lain? masih adakah gerakan yang dapat membendung atau bahkan menolak tatanan dunia yang kapitalistik tersebut ??
Sosial Movement; dekonstruksi pemikiran dan gerakan (aksi) !;
sebuah harapan untuk tatanan dunia baru yang berkeadilan.
Ternyata masih ada sekelompok kecil anak manusia yang berpikiran waras melihat kondisi realitas. Masih ada yang berusaha memikirkan dan bertindak untuk orang lain, masih ada sikap alturuistik yang ditunjukkan di antara ruang-ruang kehidupan yang hingar-bingar dengan kehidupan materialistik. Individu-individu yang tercerahkan atau kelompok-kelompok/masyarat, merupakan ancaman paling potensial terhadap kelangsungan ideologi kapitalistik.
Gerakan sosial merupakan suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif. Gerakan sosial ditempatkan sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat menggalang kekuatan untuk melawan para elite, pemegang otoritas. Ketika perlawanan didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan.
Ketika kita memperhatikan gerakan mahasasiswa sebagai salah satu bentuk gerakan sosial, maka secara umum gerakan-gerakan yang dihadirkan cenderung bersifat reaksioner, ketidakjelasan visi gerakan, tidak dapat melakukan konsolidasi secara massif. Sehingga gerakan mahasiswa dengan cepatnya akan padam dan mudah untuk dipatahkan ketika melakukan perlawanan atas kebijakan-kebijakan dari negara. Ada beberapa faktor yang menyebabkan :
  1. Tidak adanya visi bersama yang diusung;
  2. Adanya egoisme yang dibentuk, apakah bersifat sektoral ataupun karena perbedaan organisasi.
  3. Adanya kelompok-kelompok mahasiswa yang sengaja dibuat oleh untuk mengacaukan gerakan mahasiswa;
  4. Sikap apatisme mahasiswa terhadap dunia gerakan;
  5. Adanya sikap kecurigaan diantara sesama elemen-elemen gerakan;
  6. Kecenderungan gerakan mahasiswa hanya mengandalkan gerakan massa;
  7. Kurangnya metode aksi/gerakan;
  8. Kurangnya aliansi sengan rakyat
Dengan memperhatikan realitas dari gerakan mahasiswa tersebut, maka diperlukan sebuah terobosan atau gagasan baru terhadap masa depan gerakan secara umum. Diperlukan sikap kritis terhadap gejala yang menjangkiti gerakan tersebut, dibutuhkan proses real yang matang dan mendalam terhadap persoalan yang melingkupi negeri kita khususnya serta kecenderungan dunia sekarang. Gerakan tersebut meniscayakan pola dan strategi yang sesuia dengan kondisi.
Jikalau kapitalisme bekerja secara sistematis dan mengglobal, maka gerakan sosialpun harus diformulasi untuk melakukan perlawanan secara sistematis dan berkelanjutan (sustainability), dan harus mampu menohok logika dasar dari sistem ini, serta melakukan jejaring yang kuat terhadap semua sektor kehidupan (ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, pendidikan bahkan pada aspek hukum, dan pertahanan dan keamanan). Yang harus dilakukan adalah dengan melakukan proses edukasi (pendidikan kritis) terhadap rakyat, melakukan proses advokasi, membangun gerakan yang tidak terpisah dengan rakyat, dan yang tak kalah pentingnya adalah jangan sampai ruang-ruang pikiran kita yang selama ini kita jaga kemerdekaannya pun harus mengikuti cara berpikir kapitalis.