Persentuhan
wilayah Maluku dengan budaya Islam dapat dijejaki adanya bukti-bukti
peninggalan budaya Islam pada awal persentuhannya hingga masa
berkembangnya sebagai agama resmi kerajaan. Di Wilayah Ternate, Tiodre,
Bacan dan Jailolo, bukti-bukti peninggalan kerajaan Islam seperti Majid
Kuno, Alquran kuno dan berbagai peninggalan lainnya membuktikan bahwa
pengaruh budaya Islam di wilayah itu sangat kuat. Dapat dikatakan
wilayah Ternate, Tiodre, Jailolo dan Bacan adalah wilayah-wilayah pusat peradaban Islam. Pada
abad 15-16 Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo di Maluku Utara adalah
wilayah-wilayah pusat Kerajaan Islam yang pengaruhnya menyebar ke
seluruh wilayah Kepulauan Maluku, bahkan hingga ke sebelah barat dan
timurnya. Di bagian selatan Maluku, Kerajaan Hitu di Pulau Ambon
dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam.
Dari wilayah pusat perdaban dan kekuasaan Islam inilah, kemudian dengan
cepat berkembang ke wilayah-wilayah lainnya, seiring laju perdagangan
serta ekspansi kekuasaan.
Kerajaan
Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai
pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali
berkembang. Di wilayah Pulau Ambon, Kerajaan Hitu juga dianggap sebagai
pusat peradaban dan kekuasaan Islam yang sezaman dengan Ternate. Jika
kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif, telah
memberdayakan masyarakat nusantara untuk keluar dari paham-paham
primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan
penting di bidang sosial dan struktur politik, maka di wilayah Maluku,
wilayah-wilayah pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal,
dapat dikatakan mewakili anggapan itu. Pusat-pusat kekuasaan Islam
Maluku telah berkembang menjadi daerah kesultanan yang melebarkan sayap
kekuasaannya hingga ke ’wilayah-wilayah seberang’.
Sejarah
mencatat, Ternate dan Tidore adalah dua kerajaan di wilayah Maluku
Utara yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah pusat kekuasaan Islam
di wilayah Maluku Utara. Ternate, melebarkan sayap ke wilayah selatan
Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Buru, Seram Bagian Barat
dan Tengah. Sementara itu Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke
wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah kepulauan di sisi paling
timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram laut hingga ke wilayah
Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya. Kedua wilayah kesultanan itu saling
bersaing melebarkan sayap kekuasaannya hingga keluar wilayah
geografisnya ke wilayah pulau-pulau diseberang lautan.
Selain
pelebaran sayap kekuasaan yang bertendensi politis, kerajaan-kerajaan
besar tersebut juga menyebarkan dan mengembangkan paham-paham
bertendensi kultural. Salah satunya adalah penyebaran dan pengembangan
agama Islam di wilayah-wilayah pelebaran kekuasaan tersebut. Pengislaman
‘wilayah seberang’ kesultanan Ternate, tidak lepas dari peranan pusat
kekuasaaan itu sendiri. Oleh karena itu bagian selatan Kepulauan Maluku,
meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Seram dan pulau-pulau lainnya,
keagamaan Islam menyebar dan berkembang berasal dari wilayah kerajaan di
Maluku Utara, terutama Ternate dan Tidore. Dalam hal ini Hitu di Pulau
Ambon adalah sebuah pengecualian, karena perkembangan Islam di Hitu
sezaman dengan Ternate, bahkan sejarah mencatat Raja Hitu bersama Sultan
I Ternate, yakni Zaenal Abidin belajar Islam pada waktu bersamaan di
Gresik. Justru, dari pertemuan itu keduanya membangun relasi politik
antara Hitu dan Ternate dalam suatu ikatan perjanjian yang mungkin
sekali juga tentang penyebaran agama Islam di wilayah masing-masing. Proses
pengislaman wilayah-wilayah seberang di wilayah Kepulauan Maluku dan
Maluku Utara, biasanya selain karena ekspansi politik, juga dibarengi
dengan agenda-agenda perluasan perdagangan.
Jejak-jejak
arkeologi atau bukti fisik pengaruh budaya Islam dapat dilihat dengan
berbagai bentuk tinggalan budaya Islam masa lampau baik peninggalan
kerajaan maupun peninggalan daerah negeri-negeri yang bercorak Islam.
Daerah Pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara peninggalan
arkeologi yang monumental misalnya istana atau kedaton, masjid kuno,
alqur’an kuno dan berbagai naskah kuno lainnya, selain tentu saja
berbagai benda pusaka peninggalan kerajaan. Sementara itu, di wilayah
Maluku bagian selatan, meskipun tidak berkembang menjadi sebuah
kesultanan dengan wilayah kekuasaan yang lebih luas, namun pengaruh
Islam dapat dilihat dengan adanya negeri-negeri bercorak keagaaam Islam.
Diantara negeri mbergabung menjadi kesatuan adat yang menunjukkan
adanya ikatan integrasi sosial yang kuat. Meskipun tidak berkembang
menjadi daerah Kesultanan namun negeri-negeri tersebut memiliki
pemerintahan dan simbol-simbol kepemimpinan tertentu. Selain itu dapat
dijumpai pula beberapa bangunan monumental peninggalan Islam yang tidak
jauh berbeda dengan peninggalan yang terdapat di pusat-pusat kekuasaan
Islam diantaranya masjid kuno, naskah kuno dan berbagai barang pusaka
kerajaan. Jika di wilayah Maluku Utara terkenal dengan sebutan Moluko
Kie Raha, yakni empat kerajaan sebagai pusat kekuasaan Islam yakni
Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, di wilayah Maluku bagian selatan,
juga dikenal beberapa wilayah negeri yang juga dikenal dengan sebutan
kerajaan, yakni Kerajaan Hitu, sebagai kerajaan dengan wilayah kekuasaan
yang paling besar yang selama ini dikenal dalam catatan sejarah. Ada
pula kerajaan Hoamoal, di wilayah Seram Bagian Barat, yang juga tersiar
dalam berbagai penulisan sejarah sebagai wilayah kerajaan Islam yang
memiliki periodesasi yang sama dengan Kerajaan Hitu, dan bahkan menjalin
kerjasama dalam rangka mengikis hegemoni kolonial. Di Pulau Haruku, terdapat persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw, Kailolo, Kabauw, Hulaliu dan Rohomoni yang disebut sebagai Amarima Hatuhaha, masing-masing
juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam
persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha yang
berpusat di desa Rohomoni. Di Pulau Saparua, terkenal dengan
kerajaan Iha dan Honimoa (Siri Sori Islam), sebagai dua kerajaan Islam
yang cukup berpengaruh di wilayah itu sehingga dikenal sebagai sapanolua
artinya sampan dua atau perahu dua yang dimaksudkan ialah pulau Saparua
mempunyai dua Jasirah yang besar yang diatasnya berkuasa dua orang raja
dengan tanahnya yang sangat luas itu disebelah utara Raja Iha dengan
kerajaanya dan di sebelah tenggara Raja Honimoa (Sirisori dengan
Kerajaannya).
Beberapa
catatan sejarah menyebutkan, di wilayah Maluku, Islam hadir karena
penyebaran yang berasal dari Ternate. Jaffaar (2006) menuliskan, Islam
adalah salah satu faktor ikatan integrasi, oleh karena itu daerah-daerah
yang telah menerima Islam, seperti Hoamoal (Seram Barat), Saparua,
Haruku dan sebagainya, menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan,
bagian dari kesultanan Ternate (Jaffaar, 2006:55). Dapat disimpulkan
kehadiran Islam di beberapa daerah di bagian selatan Kepualuan Maluku
atau daerah Propinsi Maluku tak dapat dilepaskan dari gerakan Islamisasi
dan ekspansi kekuasaan oleh Kesultanan Ternate. Meski
demikian, Islam terbukti telah menjadi salah satu faktor ikatan
integrasi, oleh karena itu daerah-daerah yang telah menerima Islam,
menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan, bagian dari kesultanan
Ternate.
Islam,
sebagai agama maupun kultur merupakan media ikatan integrasi, terbukti
telah menyatukan berbagai negeri dalam satu ikatan kekuasaan politik dan
kultural. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, wilayah-wilayah yang
menerima Islam, secara otomatis juga mengakui kekuasaan kerajaan besar
penyebar Islam. Daerah-daerah di wilayah bagian selatan Kepulauan Maluku
baik sebagai kerajaan maupun negeri menyatakan menerima Islam sekaligus
menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan bagian dari kekuasaan
Kerajaan Ternate ataupun Tidore. Dapat dijelaskan pula, daerah-daerah
Islam di bawah kekuasaan kerajaan Hitu di Pulau Ambon, merupakan
negeri-negeri Islam yang memiliki pemerintahan adat sendiri, namun
mengakui Hitu sebagai kerajaan Islam yang merupakan induk dari wilayah
Islam lainnya di jazirah Leihitu Pulau Ambon, bahkan pengaruhnya
kemungkinan juga menyebar ke wilayah pulau-pulau lainnya.
Di Hitu, terdapat peninggalan mesjid Kuno yang tinggal puing-puing pondasi saja, dinamakan mesjid Tujuh Pangkat.
Menurut Hikayat Tanah Hitu penamaan masjid tujuh pangkat diberikan oleh
Empat Perdana Hitu berdasarkan tujuh negeri yang menjadi wilayah Hitu
pada masa itu. Penyebutan mesjid Tujuh Pangkat ini juga secara arkeologis dibuktikan dengan tujuh susunan batu yang sisa-sisanya masih ada. Di Pulau Haruku, terdapat persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw, Kailolo, Kabauw, Hulaliu dan Rohomoni yang disebut sebagai Amarima Hatuhaha, masing-masing
juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam
persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha yang
berpusat di desa Rohomoni. Dari
kelima negeri itu, hanya Hulaliu yang saat ini merupakan desa Kristen.
Hal ini merupakan salah satu pengaruh dari hegemoni Kolonial yang snagta
kuat baik secara politik maupun kultur. Bukti arkeologis menyatunya
kekerabatan Amarima Hatuhaha ini yakni dengan dibangunnya masjid kuno
yang dinamai Masjid Uli Hatuhaha. Demikian juga di Kepuluan Gorom,
sebagai wilayah penyebaran Islam yang berasal dari Kerajaan Tidore. Di
wilayah ini terdapat 3 (tiga) negeri atau kerajaan kecil yang
berpemertintahan otonom namun menyatakan diri sebagai wilayah dari
persekutuan 3 (tiga) wilayah negeri sebagai satu kesatuan yang tak
terpisahkan yakni Negeri Kataloka, Ondor, dan Amar Sekaru yang merupakan
negeri-negeri adat bercorak Islam. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu,
menerima Islam dan mengakui sebagai bagian dari kekuasaan Kerajaan
Tidore. Demikian pula di Pulau Saparua, terdapat Kerajaan Islam Iha,
yang juga merupakan gabungan negeri-negeri sebagai satu kesatuan politik
dan budaya.
Dengan
demikian, penerimaan keagamaan Islam secara resmi oleh pemerintah dalam
hal ini kerajaan ataupun negeri telah menandai bersatunya beberapa
pemerintahan otonom dalam persekutuan pemerintahan yang secara politis
mengakui adanya satu wilayah tertentu sebagai induk atau pusat
pemerintahan. Bukti-bukti arkeologi atau peninggalan budaya materi
hingga saat ini masih dapat ditemukan dan dapat menjadi petunjuk paling
berharga untuk melihat bagaimana identitas sosial masyarakat dalam
dinamika keagamaan pada masa pengaruh Islam mulai masuk hingga masa
terbentuknya kerajaan atau kesultanan dengan corak pemerintahan Islam.
Sejurus dengan itu kemudian menjadi agama resmi kerajaan hingga menjadi
anutan masyarakat hingga menjelang kolonial masuk, seterusnya pada masa
hegemoni kolonial dan masa hengkangnya dari bumi Maluku.
Di
wilayah Maluku bagian selatan, dapat disebutkan beberapa daerah yang
pada masa lalu berdiri kerajaan Islam meskipun tidak berkembang menjadi
daerah kesultanan seperti halnya di wilayah Maluku Utara. Saat ini
merupakan desa-desa atau negeri -negeri bercorak Islam. Beberapa negeri
itu dapat ditemui atau memperlihatkan beberapa corak keislaman yang
berbeda. Beberapa tinggalan arkeologi yang dapat ditemui hingga sekarang
juga dapat memberi gambaran, betapa budaya Islam dari awal hadirnya
hingga perkembangannya saat ini sangat dinamis. Seperti yang telah
dijelaskan di awal pula, kemungkinan dapat ditemui berbagai perbedaan
karaktersitik Islam antara daerah-daerah perluasan kekuasaan dengan
daerah-daerah pusat Islam yang dapat dianggap mewakili kemapanan Islam
dalam hal kekuasaan, politis maupun secara kultural.
Secara
arkeologis bukti-bukti kemapanan Islam dapat ditelusuri di wilayah
bekas Kerajaan Hitu. Dapat dikatakan pada wilayah bagian selatan
kepulauan Maluku, kerajaan Hitu adalah sebuah wilayah dengan keagamaan
dan budaya Islam yang paling kuat dan paling mapan. Daerah ini selama
ini memang dianggap sebagai wilayah kerajaan Islam di Pulau Ambon yang
kekuasaan dan keislamannya sejajar dengan Ternate.
Di wilayah ini ditemukan bekas Masjid Kuno Tujuh Pangkat, yang dibangun
diatas bukit bernama Amahitu. Selain bekas masjid kuno ditemukan juga
naskah alquran kuno dan naskah kuno lainnya, pucuk mustaka masjid kuno,
mahkota raja, kompleks makam raja, penanggalan Islam kuno, timbangan
zakat fitrah dan lain-lain (Handoko, 2006; Sahusilawane 1996). Dari data
arkeologi ini dapat menggambarkan bahwa kerajaan Hitu merupakan wilayah
kerajaan dengan corak budaya Islam yang kuat. Sejauh ini tidak ditemui
bukti-bukti baik secara arkeologis maupun laku budaya hidup yang
menunjukkan budaya Islam bercampur baur dengan budaya non Islami. Dengan
kata lain, setidaknya budaya Islam yang berkembang di wilayah Hitu,
sejauh ini tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok dengan daerah pusat
penyebaran Islam lainnya. Laku budaya yang ada juga lazim ditemui di
daerah lain, misalnya tradisi berziarah ke makam para Raja Hitu,
merupakan kegiatan yang lazim sebagaimana daerah lainnya seperti tradisi
ziarah ke makam para wali di Jawa. Selain itu di desa Kaitetu, yang
pada masa kerajaan merupakan salah satu daerah kekuasaaan Hitu, sampai
sekarang masih berdiri kokoh Masjid Tua Keitetu yang konon dibangun pada
tahun 1414 M. Selain itu juga tersimpan naskah alquran kuno, kitab
barjanzi, naskah penanggalan kuno dan sebagainya. Bukti-bukti arkeologis
ini menunjukkan kemapanan Islam di wilayah tersebut. Dapat dilihat
bahwa penyebaran Islam di wilayah ini berjalan sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam seperti dalam hal dakwah. Di wilayah Kerajaan Hitu
misalnya, sangat mungkin naskah alquran kuno merupakan bukti atau untuk
media sosialisasi Islam (Handoko, 2006), begitu juga kitab barzanji,
naskah hukum Islam dan penanggalan Islam kuno. Data arkeologi ini dapat
mewakili gambaran kebudayaan Islam di wilayah pusat-pusat peradaban
Islam yang mapan keIslamannya, seperti halnya di wilayah Maluku Utara
yang diwakili terutama kerajaan Islam Ternate dan Tidore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar