Welcome in Rasyid Blog

Membaca Adalah cara dimana dunia ada pada genggaman anda..
Jadi Teruslah membaca..
Semoga dapat bermanfaat bagi anda..

A-CHIED ANGKOTASAN

Senin, 26 November 2012

JERITAN HATI SEORANG INSINYUR



Oleh : Ir. Rony Ardiansyah, MT, IP-U. (Pengamat Perkotaan/Dosen Magister Teknik Sipil UIR)


            “Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk mengahasilkan kemaslahatan?” Mungkin. Atau entah. Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil yang terjadi di proyek ini pasti akan mengurangi kesungguhan, bahkan mengkhianati tujuan dasarnya. Dan hatiku tak bisa menerimanya.

            Mungkin jeritan hati yang dialami Kabul dalam pembangunan proyek jembatan di sebuah desa ini pada jamannya, juga dirasakan oleh insinyur-insinyur sekarang yang selalu mengutamakan profesi dan etika di atas kepentingan pribadi. Kisah Kabul yang saya kutip dari sebuah novel tulisan Ahmad Tohari (2002) dengan judul “Orang-Orang Proyek”, bisa dimanisvestasikan untuk insinyur-insinyur jaman kini yang mempunyai hati. Karena jeritan hati hanya buat mereka yang mempunyai hati, bagi mereka yang tak punyai hati tidaklah mungkin hatinya menjerit.

            Bila dahulu. Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa di Sungai Cibawor bagi Kabul, seorang insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. “Permainan” yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Itulah jeritan hati Kabul untuk bisa tetap bertahan, agar jembatan yang baru dibangunnya itu mampu memehuhi dambaan penduduk setempat. Bagaimana dengan sekarang insinyur sekarang?

            Kabul pun mendapat tantangan berat, dimana tiang-tiang pancang jembatan itu menjadi miring dihantam pohon-pohon mahoni besar yang hanyut bersama datangnya air bah. Kerusakan itu membuat kerugian yang cukup besar. Serta memberikan beban batin karena hasil kerja beberapa hari dengan biaya miliaran lenyap seketika. Karena kejadian itu sesungguhnya bisa dihindari bila awal pelaksanaan pembagunan jembatan itu ditunda sampai musim kemarau tiba beberapa bulan lagi. Itulah rekomendasi dari para perancang. Namun rekomendasi itu diabaikan, konon demi mengejar waktu. Maksudnya. Pengusaha yang punyai proyek dan para pemimpin politik lokal mengkehendaki jembatan itu selesai sebelum pemilu 1992. Karena, menurut Kabul, peresmiannya akan dimkanfaatkan sebagai ajang kampaye partai golongan penguasa saat itu. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik. Karena, kerugian akibat banjir ini bisa menjadikan alasan untuk meminta biaya tambahan, dan hal ini berarti kesempatan baru untuk menggelumbungkan anggaran proyek. Semoga jaman sekarang ini, tidak terulang lagi.

            Hati Kabul pun tertusuk, mendapat sindiran yang justru lebih menghujam dari Pak Tarya, warga setempat sekaligus teman “curhat” sang insinyur muda ini. “ Ah, kami rakyat kecil tahu kok, apa arti pengelumbungan biaya bagi orang-orang proyek”. Pak Tarya ingin mengatakan orang-orang proyek adalah manusia-manusia yang suka main curang. Korup dengan berbagai cara dan gaya. Tapi apakah Pak Tarya salah? Jujur, kabul meresa sindiran halus Pak Tarya lebih banyak benarnya. “Atau benar semuanya bila aku, Kabul ikut-ikutan suika makan uang proyek. Tapi bagaimana meyakinkan Pak Tarya bahwa aku tidak ingin seperti mereka?”   

            Pada suatu dialog lainnya. Pak Tarya mencoba menjawab pentanyaan Kabul; Mengapa beberapa penduduk di sini suka menyuap kuli-kuli untuk, mendapat, atau tepatnya dicurikan semen? Bukankah, selama ini kita menganggap orang kampung lugu, bersih, tidak “melik” terhadap barang orang lain?” He-he-he…., itu dulu, Mas Kabul. Sekarang, lain. Orang-orang kampung menganggap, misalnya mengambil aspal dari pinggir jalan adalah perkara biasa. Bila ketahuan, ya mereka akan membelikan rokok buat pak mandor. Selesai. Atau, mereka tak merasa bersalah karena tahu banyak pagar makan tanaman. Jadi kalau kuli-kuli Anda mencuri semen dan orang kampung jadi penadahnya, apa aneh?.

            Ah, Mas Kabul pura-pura lupa bahwa pada dasarnya kebanyakan orang masih dilekati watak primitif, yakni lebih mementingkan diri sendiri alias serakah. Ada rasa kecut di hati ketika menyadari apa yang dimaksud oleh Pak Tarya bila dirangkai dengan angka kebocoran anggaran proyek yang konon mencapai 30 sampai 40 persen itu. Primitif, mementingkan diri sendiri, serakah. Itulah akar persoalan? Rasanya memang begitu. Dan bila si primitif tadi adalah orang kampung di sekitar proyek yang miskin dan kurang terdidik, harap maklum. Namun kalau si primitif tadi adalah menteri, dirjen, kakanwil, pemki dan setrusnya? Apa mereka tidak mencak-mencak bila dikatakan primitif?

            Tanpa terasa proyek sudah berjalan tiga bulan. Namun karena dimulai ketika hujan masih sering turun, maka progres pekerjaan yang dicapai dirada di bawah target. Menghadapi kenyataan ini Kabul sering uring-uringan. Jengkel karena hambatan ini sesungguhnya bisa dihindari bila pemerintah sebagai pemilik proyek dan para politikus tidak terlalu banyak campur tangan dalam tingkat pelaksanaan.

            Dan campur tangan ini ternyata tidak terbatas pada penentuan awal pekerjaan yang menyalahi rekomendasi para perancang, tapi masuk juga ke hal-hal lain. Poryek ini, dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dan akan menjadi beban masyarakat, mereka anggap sebagai milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendaharaan proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan penguasa. Kendaraan-kendaraan proyek wajib ikut meramaikan perayaan HUT golongan itu. Malah pernah terjadi pelaksana proyek diminta mengeraskan jalan yang menuju rumah seorang ketua partai golongan karena tokoh itu akan punya hajat. Bukan hanya mengeraskan jalan melainkan juga memasang “tarup”. Belum lagi dengan oknum sipil maupun militer, juga oknum-oknum anggota DPRD yang suka minta uang saku kepada bendaharaan proyek kalau mereka mau plesir keluar daerah.

            Dan ternyata orang-orang kampung pun ikut-ikutan nakal. Bila mereka hanya minta ikut memakai kayu-kayu bekas atau meminjam generator cadangan untuk keperluan perhelatan, masih wajar. Tapi kenakalan mereka lebih jauh. Mungkin karena tahu banyak priyayi yang ”ngiwung” barang, uang atau fasilitas proyek mereka pun tak mau ketinggalan. Selain menyuap kuli untuk mendapatkan semen, paku, kawat ikat, mereka juga sering meminta besi potingan, kata mereka, untuk membuat linggis.

            Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa bermain dengan menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk. Truk yang masuk sepuluh kali  bisa dicatat menjadi lima belas kali dan untuk kecurangan ini dia menerima suap dari para sopir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar