Mahasiswa adalah kaum terpelajar muda yang berada pada level tertinggi
suatu proses pendidikan, dimana pada diri merekalah terdapat sebuah
tumpuan harapan rakyat yang sangat besar. Peranan mahasiswa sesungguhnya
sebagai individu-individu yang berusaha menyesuaikan diri dengan
orang-orang atau golongan yang berusaha mengubah tradisi, dengan
demikian akan terjadi perubahan tradisi yang lebih baik dalam dinamika
kehidupan masyarakat. Sejatinya Mahasiswa bergerak melalui mekanisme
pendidikan aktif dan independensinya tidak dicemari oleh berbagai
kepentingan sosio cultural politice yang bertentangan dengan kebutuhan
rakyat. Maka muncullah pelaku pergerakan pembelaan rakyat yang sering
diistilahkan dengan aktivis kampus.
Aktivis kampus adalah mahasiswa yang mau berpikir, berjuang, dan
bersedia menjadi pelaku perubahan yang mengarah pada perbaikan nasib
bangsa dengan segenap kemauan dan kemampuan. Mereka bergerak di jalur
politik dan aktivis imajiner atau apapun itu adalah bagian dari dunia
kampus. Sebagai miniatur negara, kampus memang memiliki keragaman, baik
dari aktivitas, pola pikir sampai dengan identitas. Dan dari perbedaan
atau pluralitas itu kampus menjadi tempat lahirnya banyak pelaku
perubahan yang kemudian berbaur dengan masyarakat.
Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Ia
timbul tenggelam dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata
kehidupan demokrasinya secara lebih beradab antara lain dengan mengikut
sertakan suara-suara kaum mudanya. Fenomena-fenomena gejolak mahasiswa
di tanah air yang eskalasinya sangat luas ini, mengingatkan kita kembali
pada sinyalemen seorang pengamat gerakan mahasiswa, Philip G. Albach,
bahwa aktivitas kemahasiswaan di dunia ketiga tetap merupakan suatu
faktor penting.
Pentingnya peran mahasiswa ini layak kita garis-bawahi, tidak hanya
terletak pada posisinya yang cenderung “elitis” sehingga membuat mereka
merasa memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakatnya. Tapi, juga
berkaitan dengan struktur dan lembaga politik di negara-negara
berkembang yang dinilai belum mapan, sehingga meniscayakan dampak
langsung aktivitas mahasiswa atas politik. Dan juga yang paling utama
adalah keterlibatan moral dalam proses politik bangsanya, untuk
menemukan sebuah kebenaran yang diidam-idamkan rakyat, yang telah
berusaha memulihkan kualitas kehidupan bangsanya. Bukan hanya kualitas
hidup yang dicerminkan dalam hal-hal yang bersifat material, tapi yang
terpenting juga kualitas demokrasi atau martabat manusia itu sendiri.
Akan tetapi, banyak mahasiswa tidak menyadari bahwa mereka adalah kaum
intelektual murni yang diharapkan masyarakat awam, karena dipandang
bebas dari kepentingan politis elit tertentu, mereka tidak mengerti akan
substansi dari Tri Darma Perguruan Tinngi itu sendiri. Sehingga
sebagian diantaranya salah kaprah akan ke-eksistensian mereka sendiri
sebagai agent of change, beranggapan bahwa kuliah hanya sebagai salah
satu syarat utama untuk mencari kerja, juga mungkin hanya sebatas ikut
trend global bahwa kuliah adalah suatu lifestyle anak muda masa kini
dengan berbagai corak tingkah laku yang sebenarnya dapat menghancurkan
identitas kemahasiswaan di mata masyarakat.
Mahasiswa saat ini terjebak dengan pemikiran bahwa tugas intelektualitas
mereka telah usai pasca reformasi 1998, dan hanya dapat membanggakan
reformasi yang telah diperjuangkan oleh para pendahulunya. Mereka tidak
bisa merawat dan minimal tidak mampu untuk mengontrol dinamika kehidupan
ideal yang diharapkan dari reformasi. Ditambah dengan pola pendidikan
praktis dan statis dimana mahasiswa hanya kuliah dengan cara mendengar
dan mengikuti aturan baku
yang diterapkan kampus, sehingga menghambat pola pikir dan kreatifitas
mahasiswa, sejatinya mereka harus dinamis dan tidak dapat dikurung oleh
aturan-aturan yang dapat membungkam suara murni dari pergerakan
mahasiswa.
Mahasiswa, kampus dan politik merupakan tiga entitas yang dapat saling
berikatan. Di kampus, mahasiswa tidak hanya mengisi aktivitas dengan
belajar. Mahasiswa dengan berbagai peran sosialnya dapat melakukan
aktivitas-aktivitas sosial-politik. Aktivitas ini sekurang-kurangnya
dapat dilihat pada fenomena pemerintahan mahasiswa sebagai wujud dari
politik kampus. Sebagian kecil mahasiswa memilih menjadi aktivis kampus
untuk bisa mewujudkan peran tersebut.
Peran tersebut menjadi tantangan sulit bagi mereka yang belum
berpengalaman sama sekali, sehingga seringkali terlihat rapuh dan
berkembanglah stigma skeptis dari pemikiran mereka. Sedangkan yang sudah
berpengalaman tidak mampu untuk merangkul semua elemen kampus karena
beranggapan bahwa hanya dialah yang mampu untuk memimpin suatu
pergerakan mahasiswa yang sesungguhnya, sehingga tidak mendapatkan
kepercayaaan dari yang lain, hanya bergaul dengan orang-orang tertentu
yang dianggap sepadan dengannya (elitis). Tidak pernah mau mendengarkan
statement dari mahasiswa yang berada di luar komunitas mereka. Ditambah
lagi dengan jumlah mereka yang tidak sampai 11% dari total mahasiswa per
kampusnya, dukungan yang tidak didapatkan dari mahasiswa lainnya,
skeptisisme tenaga pendidik kepada mereka, juga menjadi hal yang dapat
membuat mereka kehilangan directly confidental. Realita bahwa ada hal
yang dilupakan oleh aktivis kampus hari ini yakni kondisi teman-temannya
yang lain, yang katakanlah non aktivis, dan anggapan bahwa non aktivis
adalah apatis. Juga kurangnya peran dari kawan-kawan yang menamakan
dirinya sebagai aktivis dengan embel-embel fungsinya untuk melakukan
proses penyadaran terhadap mahasiswa lain untuk berjuang membela rakyat
secara bersama-sama. Hal tersebutlah yang menjadikan mahasiswa terpecah
belah, kemudian terjadi evolusi penyekatan dan pengotakan yang berakibat
pada tidak terjadinya harmonisasi di kampus. Pengkotakan komunitas ini
akhirnya menjadi semakin kuat. Masing-masing komunitas saling mengklaim
bahwa ideologi merekalah yang tepat untuk diperjuangkan dan diterapkan
dalam perkembangan masyarakat banyak. Sehingga mereka terjebak dalam
sebuah kerangka pemikiran yang menempatkan manusia sebagai objek, bukan
lagi sebagai subjek.
Statement inilah yang tanpa disadari mengikis kemurnian perjuangan
intelektual mereka. Seringkali pada realitanya pergerakan mereka hanya
untuk menunjukan eksistensi komunitas mereka saja di muka khalayak ramai
dengan mengatasnamakan rakyat. Pergerakan ini seringkali tidak tahu apa
yang seharusnya diperjuangkan, mereka tidak mampu menganalisis problema
kehidupan sosial kultural politik yang terjadi dalam masyarakat, tanpa
tedeng aling-aling langsung mengadakan aksi atas nama pembelaan terhadap
rakyat, padahal dengan aksi merekalah masyarakat kehilangan something
of trusting kepada mereka. Masyarakat dibuat bingung dengan aksi
pembelaan mereka, pembelaan yang seharusnya ditujukan kepada masyarakat,
malah tidak sesuai pada tempatnya. Jauh melenceng dari kesesuaian
kebijakan dengan kebutuhan rakyat.
Yang lebih ironis, ada pergerakan atas permintaan elit tertentu untuk
memprotes suatu kebijakan yang merugikan kaum elit tersebut, menggunakan
mahasiswa sebagai alat bantu penentang kebijakan yang seolah-olah
nantinya dipandang masyarakat sebagai kebutuhan rakyat karena
diperjuangkan oleh mahasiswa. Mahasiswa tersebut nantinya mendapatkan
imbalan tertentu atas aksi yang telah dilakukan. Pergerakan mahasiswa
seperti ini tidak seharusnya diacungkan jempol, mereka berteriak-teriak
lantang atas nama pembelaan rakyat, akan tetapi dibalik itu terdapat
kepentingan elit tertentu, sebenarnya hal ini tidaklah membentuk mental
pejuang intelektual pembela rakyat yang sejati, tapi membentuk
mental-mental penjilat yang merusak moral masyarakat sendiri.
Perpecahan mahasiswa juga sangat terasa ketika saat pemilihan ketua
sebuah lembaga kemahasiswaan, apakah pada level universitas, fakultas
dan bahkan pada level jurusan/program study sekalipun. Dapat dilihat
dimana kandidat A menjadi pesaing ketat kandidat B dan seterusnya,
berbagai ideologi dan strategi komunikasi aktif dikembangkan dan
diterapkan dengan berbagai cara, termasuk permainan curang sekalipun.
Pasca pemilihan, kandidat terpilih hanya menempatkan orang-orang yang
telah membantunya pada saat kampanye, dan hanya yang se-ideologi
dengannya yang dimasukkan dalam struktur kepengurusan kabinetnya.
Yang
berada di luar garis komunitas ideologinya tidak boleh mendekati
kepengurusan yang dipaksakan ini, sehingga menempatkan orang-orang non
qualified untuk mengatur sirkulasi perjuangan mahasiswa yang seutuhnya.
Hal inilah kemudian yang membuat lembaga kemahasiswaan tidak mampu
mengakomodasi aspirasi mahasiswa dan masyarakat, sehingga kehilangan
jati diri dan kepercayaan dari mahasiswa lainnya.
Sudah saatnya aktivis merubah pola pikir, merubah paradigma statis bahwa
aktivis tidak lagi mampu menjadi pembela rakyat. Aktivis sekarang harus
menjadi pilar intelektual terhadap problema rakyat. Serta bersih dari
kepentingan politis elit atas. Sebelum ke dunia luas, sejatinya harus
menyelesaikan problem yang berada dalam lingkungan kampus terlebih
dahulu, membebaskan mahasiswa dari jeratan aturan yang merugikan
eksistensi mahasiswa. Ini memang sangat ironis, tapi tidak akan menjadi
beban ketika yang diperjuangkan adalah kepentingan bersama, dalam artian
kaum aktivis tersebut ikut memperjuangkan kepentingan mahasiwa yang
terkesan apatis secara konkrit, yang notabene tidak berani bicara dan
bertindak walaupun pada dasarnya mereka juga ikut merasakannya.
Aksi
untuk kepentingan bersama adalah langkah mulia, yang pasti akan ada yang
mendukung, walaupun kebanyakan hanya dalam hati. Yang pasti posisi
mahasiswa sebagai jangkar dan oposisi yang selalu mengambil garis tegas
terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap rakyat, baik kampus
maupun masyarakat luas harus tetap dijaga.
Kita yakin kultur yang baik tak mungkin dibina dengan cara-cara
manipulatif dan kotor seperti yang sering kita dengar kalau orang-orang
tengah mengecam strategi politik. Mungkin yang harus kita jawab lebih
dahulu, apakah perjuangan moral aktivis saat ini benar-benar bisa
mempertahankan kemurniannya dari berbagai corak intervensi atau luput
dari kepentingan pihak-pihak tertentu? Setelah perjuangannya berhasil,
apakah mereka bisa menghindarkan diri dari sikap-sikap easy going,
arogansi, sikap membusungkan dada, kekerasan, brutalisme, radikalisme,
seperti yang sering kita dengar dari orang-orang yang tidak setuju
dengan aksi perjuangan mahasiswa ataupun dari geliat kaum oportunis dan
pragmatis yang senantiasa membonceng di balik rintihan anak zamannya?
Dalam gerakan mahasiswa, apalagi jika berpretensi sebagai gerakan moral,
bukanlah ukuran kalah atau menang, atau kuat dan lemah, tapi kebenaran
yang menjadi perhitungan. Yang menjadi fokus haruslah tetap isu yang
mereka kumandangkan, yaitu isu monumental yang harus segera
diperjuangkan secara bersama-sama tanpa perpecahan konsep yang berarti.
Seandainya pun tidak berhasil, gerakan aktivis mahasiswa akan tetap
dikenang sebagai hati nurani zamannya, asalkan mereka tetap pada jalur
tanpa kekerasan. Bagi pergerakan mahasiswa tanpa kekerasan, pemisahan
gerakan moral dan gerakan politik tidak lagi relevan, karena moral harus
juga diperjuangkan secara politik, dan aksi pergerakan politik aktivis
mahasiswa harus dijalankan dengan prinsip moral. Semoga gelar aktivis
bukan dimaknai sebagai suatu status sosial yang perlu dibanggakan, tapi
menjadi sebuah posisi yang harus bisa dipertanggung jawabkan. Perjuangan
adalah kenyataan, dan kenyataan yang akan mengantarkan perjuangan kita.